Bangkit dari "Mati Suri" Setelah Seabad Terlupakan
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Tahun 1918, sepuluh tahun pascaberdirinya Boedi Oetomo 20 Mei 1908, sekelompok anak muda sepakat menolak keinginan Batavia menggelar Kongres Bahasa Jawa dan menggantikannya menjadi Kongres Kebudayaan Jawa. Inilah tonggak sejarah munculnya kesadaran masyarakat tentang identitas budayanya sendiri (Nunus Supardi,"Bianglala Budaya Jilid 1:Kongres Kebudayaan", 2018).
Kongres Kebudayaan Jawa atau Conres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling digelar satu abad silam, tepatnya 5 Juli 1918. Penggagas kongres ini adalah Pangeran Prangwadana atau Mangkunegoro VII.
"Kami berkeyakinan bahwa kini sudah tiba saatnya untuk terlepas dari tujuan-tujuan politik, sebuah bangsa baru akan mampu memiliki jati dirinya apabila bangsa itu bertumpu pada sejarah sendiri serta warisan budayanya sendiri. Memiliki kebudayaan sendiri merupakan salah satu unsur penting agar dapat mengungkapkan kesadaran nasional serta jati diri rakyat. Apabila sebuah bangsa mengesampingkan kebudayaannya sendiri serta tidak menghargai apa yang diewariskan nenek moyangnya, maka bangsa itu tidak layak untuk maju". Demikian kutipan pidato sambutan Ketua Panitia Kongres Kebudayaan Jawa 1918, R Sastrowidjono.
Bisa dibayangkan bagaimana 27 tahun sebelum Indonesia merdeka, di antara masyarakat sudah tumbuh kesadaran tentang perlunya memiliki kebudayaan sendiri agar dapat mengungkapkan kesadaran nasional serta jati diri rakyat. Karena itulah, tidak berlebihan jika menyebut Kongres Kebudayaan Jawa 1918 sebagai salah satu tonggak sejarah pra-kelahiran bangsa Indonesia. Kalaupun waktu itu disebut kata Jawa di dalamnya, itu hanya persoalan konteks karena memang belum ada eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Meski menjadi momen penting dalam sejarah pra-kemerdekaan, menurut mantan Sekretaris Utama Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Nunus Supardi, selama ini perhatian terhadap Kongres Kebudayaan sebelum Indonesia merdeka (1918) praktis tidak ada.
Sementara beberapa kongres lain yang juga digelar sebelum Indonesia merdeka justru tercatat dalam buku sejarah sebagai tonggak-tonggak penting perjalanan bangsa, seperti Kongres Boedi Oetomo 1908, Kongres Pemuda 1926 dan 1928, Kongres Perempuan 1928, Kongres Pendidikan 1935 dan 1937, serta Kongres Bahasa 1938.
Strategi Kebudayaan
Tahun demi tahun, Kongres Kebudayaan terus-menerus digelar secara periodik. Namun, setelah seabad berlalu, Indonesia tidak kunjung memiliki Strategi Kebudayaan.
Realisasi penyusunan strategi kebudayaan baru mendapatkan landasan setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Pasal 8C menyebutkan, pemajuan kebudayaan berpedoman pada Strategi Kebudayaan.
”UU Pemajuan Kebudayaan baru saja terbentuk. Jadi, sebenarnya perjalanan kebudayaan nasional kita selama ini belum memiliki strategi yang kuat karena belum memiliki undang-undang,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Agustus lalu.
Sesuai amanat UU Pemajuan Kebudayaan, langkah pemajuan kebudayaan (berupa pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan) dilaksanakan dengan berpedoman pada Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) kabupaten/kota, PPKD provinsi, dan Strategi Kebudayaan. Strategi kebudayaan inilah yang akan jadi dasar perumusan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan sebagai acuan penyusunan rencana pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang, pada bidang kebudayaan.
Proses perumusan strategi kebudayaan melalui sekitar 800 diskusi yang diikuti 5000-an orang selama 10 bulan sejak Maret 2018. Dari seluruh proses tersebut, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud menerima laporan PPKD yang terkumpul dari 300 kabupaten/kota serta 31 provinsi dilengkapi hasil pertemuan sekitar 35 kelompok.
“Ini adalah puncak perjalanan panjang. Namun, buat republik, ini adalah awal untuk berbuat,” kata Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid.
Seluruh penggalangan gagasan dari tingkat bawah itu menjadi bahan penyusunan Strategi Kebudayaan yang kemudian diserahkan ke Presiden Joko Widodo di hari terakhir Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2018, Minggu (9/12/2018) lalu, lengkap dengan tujuh resolusi di dalamnya, antara lain pelembagaan Pekan Kebudayaan Nasional, pelindungan dan pengembangan karya kreatif, meningkatkan diplomasi kebudayaan, hingga membangun pusat inovasi yang mempertemukan kemajuan teknologi dengan warisan budaya.
Berbeda dengan sejumlah Kongres Kebudayaan sebelumnya yang menghadirkan deretan pemakalah, KKI 2018 digelar dengan konsep perayaan budaya, mulai dari kuliah umum, debat publik, diskusi film, pertunjukan, pidato kebudayaan, hingga pawai budaya.
Dengan munculnya strategi kebudayaan, KKI 2018 menjadi penanda bangkitnya kembali kesadaran dan perhatian pemerintah terhadap kebudayaan. Bukti nyatanya, Presiden Joko Widodo berkomitmen mengalokasikan dana abadi untuk kegiatan kebudayaan mulai 2019 dengan anggaran Rp 5 triliun untuk lima tahun pertama.