BALIGE, KOMPAS — Sebanyak 2.000 orang anggota masyarakat adat dari kawasan Danau Toba menggelar pesta rakyat memperingati hari hak asasi manusia, di Lapangan Sisingamangaraja XII, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Kamis (13/12/2018). Mereka menuntut agar peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat segera disahkan.
”Hak ulayat masyarakat adat telah diakui melalui berbagai peraturan di tingkat nasional sejak tahun 2012. Namun, peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat tidak kunjung disahkan sehingga masyarakat adat belum bisa sepenuhnya mendapat hak ulayatnya,” kata Direktur Program Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Delima Silalahi.
Peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat tidak kunjung disahkan sehingga masyarakat adat belum bisa sepenuhnya mendapat hak ulayatnya.
Pesta rakyat tersebut pun diikuti puluhan kelompok masyarakat adat dari tujuh kabupaten di Kawasan Danau Toba, yakni Kabupaten Toba Samosir, Samosir, Tapanuli Utara, Simalungun, Humbang Hasundutan, Karo, dan Dairi. Mereka datang dengan menggunakan puluhan bus ke Lapangan Sisingamangaraja XII di Balige.
Sebagian anggota kelompok masyarakat adat mengenakan ulos. Mereka menampilkan tarian dan nyanyian daerah. Selain masyarakat adat, sejumlah kelompok disabilitas juga hadir dalam acara itu.
Delima mengatakan, hingga saat ini belum ada satu pun perda tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat yang sudah disahkan di Sumatera Utara, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Hanya DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan yang sudah menggelar rapat paripurna mengesahkan perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat pada Juli 2018. ”Namun, itu pun belum mendapat nomor pendaftaran dari Pemerintah Provinsi Sumut hingga kini,” katanya.
Hadir dalam acara tersebut, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Taufan Damanik, Asisten III Bidang Administrasi Umum Pemerintah Kabupaten Toba Samosir Parulian Siregar, Senior Program Officer Internasional NGO Forum on Indonesian Development (Infid) Mugiyanto, Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut (Bakumsu) Manambus Pasaribu, dan anggota DPRD Sumut Sarma Hutajulu.
Ketua Perjuangan Petani Kemenyan Masyarakat Adat Pandumaan dan Sipitu Huta, James Sinambela, mengatakan, meskipun mereka telah mendapat pengakuan hutan adat sebanyak 5.172 hektar melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 923 Tahun 2016, hingga sekarang mereka belum bisa menguasai seluruh lahan yang dikeluarkan dari konsesi PT Toba Pulp Lestari Tersebut. ”Padahal, surat keputusan itu diserahkan langsung Presiden Joko Widodo kepada kami di Istana Negara pada Desember 2016 lalu,” ujar James.
James mengatakan, sebagian besar lahan memang sudah kembali dikuasai oleh masyarakat adat. Namun, ada sebagian yang masih ditanami tanaman eukaliptus oleh perusahaan berkali-kali. ”Kami akan mengambil alih semua lahan kalau perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sudah disahkan,” katanya.
Sebagian besar lahan memang sudah kembali dikuasai oleh masyarakat adat. Namun, ada sebagian yang masih ditanami tanaman eukaliptus oleh perusahaan berkali-kali.
Sarma Hutajulu mengatakan, perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sudah masuk program legislasi daerah DPRD Sumut pada 2018. Namun, perda usulan DPRD Sumut tersebut belum bisa dibahas karena naskah akademik dari perguruan tinggi belum kelar. ”Kami akan mengupayakan agar tahun depan bisa disahkan,” ujarnya.
Parulian Siregar mengatakan, Pemerintah Kabupaten Toba Samosir berencana mengajukan perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Namun, hingga kini belum ada perkembangan.
Manambus mengatakan, seharusnya semua kabupaten di kawasan Danau Toba memprioritaskan pembuatan perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat karena konflik agraria sangat rawan terjadi di kawasan Danau Toba. Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2012 telah menyatakan hutan adat milik masyarakat adat, bukan milik negara. Namun, putusan itu harus diikuti dengan perda.