Digitalisasi Membuat Nilai Bisnis Syariah Makin Dinamis
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·2 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Perubahan akibat disrupsi digital juga merambah sektor ekonomi berbasis syariah. Meski digitalisasi meningkatkan efektivitas dan efisiensi sistem produksi, pelaku bisnis syariah di Tanah Air masih malu-malu untuk menyerap digitalisasi secara utuh dalam pusaran industri mereka.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Sugeng mengatakan, proses digitalisasi bisa membuat rantai nilai dalam industri berbasis syariah semakin dinamis. Proses inventarisasi dan verifikasi jaminan aspek halal suatu produk barang ataupun jasa juga semakin mudah.
”Industri halal di Uni Emirat Arab telah lebih dulu dari negara mana pun dalam memanfaatkan teknologi blockchain. Proses verifikasi produk makanan halal menjadi lebih cepat dengan tetap menjamin kualitas sumber asal produk,” ujarnya dalam Festival Ekonomi Syariah Indonesia (IFES) 2018, di Surabaya, Rabu (12/12/2018).
Blockchain atau rantai blok adalah sistem pencatatan atau database yang tersebar luas di jaringan atau disebut juga dengan istilah distributed ledger. Teknologi blockchain digunakan oleh berbagai mata uang crypto termasuk bitcoin.
Sementara Pemerintah Thailand, lanjut Sugeng, telah mencanangkan visi mereka untuk menjadi dapur halal dunia, telah memanfaatkan teknologi big data untuk mempercepat proses verifikasi produk makanan halal.
Sektor industri makanan di Indonesia didorong untuk bergerak cepat dalam pemanfaatan teknologi digital. Pasalnya, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Global Islamic Economy Report menempatkan Indonesia pada peringkat pertama sebagai pasar terbesar produk makanan halal secara global.
”Diakuinya sertifikat halal Indonesia di banyak negara dunia yang berlaku secara resiprokal telah membuka peluang peningkatan ekspor makanan halal Indonesia ke pasar global,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) Luthfi Adhiansyah mengakui banyak pelaku usaha berbasis syariah di Indonesia yang masih ragu untuk berinvestasi di bidang teknologi. Padahal, inovasi digital merupakan investasi masa depan.
”Di era disrupsi teknologi, para pelaku usaha berbasis syariah harus siap menghadapi digitalisasi dalam setiap aspek bisnis,” ujarnya.
Potensi konsumen Muslim yang mayoritas, kata Luthfi, menggerakkan tren perilaku pasar global. Pemahaman terhadap hukum Islam menjadi faktor penggerak bagi konsumen Muslim dalam memutuskan pembelian. Hal ini juga memengaruhi perilaku berbelanja serta konsumsi mereka.
Sebagai negara dengan jumlah konsumen produk halal terbesar di ASEAN, menurut Luthfi, pasar Indonesia berkontribusi besar terhadap keputusan pertimbangan halal, termasuk terkait dengan hukum riba.
”Tetapi, sayangnya kita bukan produsennya. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena belum ada pihak yang menginvestasikan modalnya secara syariah. Di sinilah saya kira peran tekfin akan vital untuk mendorong ekonomi syariah,” ujar Luthfi.