Akuntabilitas Sosial di Wilayah Perbatasan Masih Minim
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Akuntabilitas sosial layanan kesehatan di daerah perbatasan amat minim. Selain ketersediaan unit layanan kesehatan dan tenaga kesehatan belum optimal, konektivitas dan aksesibilitas warga terhadap layanan kesehatan juga terkendala.
Hal itu terungkap dalam paparan hasil studi awal Media Link tentang akuntabilitas layanan kesehatan di area perbatasan, Selasa (11/12/2018), di Jakarta. Studi itu dilakukan sejak Agustus 2017-Februari 2018 di empat wilayah, yakni Kabupaten Bengkalis, Riau; Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat; Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat; dan Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Media Link ialah lembaga nonpemerintah yang fokus pada isu kebebasan informasi dan demokratisasi media.
”Empat daerah yang dipilih sebagai lokasi studi itu jadi representasi area perbatasan lain. Kami tujukan ke daerah perbatasan berupa kepulauan seperti di Bengkalis yang berbatasan langsung dengan negara lain seperti Kabupaten Sambas dan daerah terluar yang berbatasan dengan laut lepas di Kabupaten Lombok Barat,” kata Mujtaba Hamdi, peneliti dan penulis buku Akuntabilitas Sosial Pelayan Kesehatan Daerah Perbatasan.
Menurut Manajer Program Media Link Darwanto, dalam prinsip akuntabilitas sosial terkait layanan kesehatan, ada lima elemen saling terkait, yakni tindakan negara, tindakan warga, informasi, kanal interaksi warga dan pemerintah, serta mobilisasi sipil. ”Tindakan warga ataupun pemerintah terjadi jika informasi tersampaikan ke warga lewat interaksi dan mobilisasi,” ujarnya.
Tindakan warga ataupun pemerintah terjadi jika informasi tersampaikan ke warga lewat interaksi dan mobilisasi.
Konektivitas
Mujtaba memaparkan, hasil riset itu menunjukkan layanan kesehatan belum diakses dengan baik oleh warga karena konektivitas tempat tinggal warga dan unit layanan kesehatan buruk. Contohnya, puskesmas di kecamatan terdepan Sambas dibangun dan direhabilitasi dengan baik, tetapi pembangunan infrastruktur transportasi dan jaringan komunikasi tak terintegrasi. ”Jadi, warga sulit mengakses puskesmas itu,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Arif Nur Alam menilai, kondisi itu terjadi karena tata ruang tak terintegrasi. ”Infrastruktur dibangun kadang tak melewati fasilitas layanan publik, termasuk layanan kesehatan. Akses warga menjangkau layanan kesehatan jadi rendah,” ujarnya.
Darwanto menambahkan, partisipasi warga dan arus informasi layanan kesehatan di empat lokasi yang diteliti juga kurang. Warga sulit mengakses jadwal praktik petugas kesehatan di fasilitas kesehatan sehingga harus menginap karena petugas kesehatan tidak tersedia.
Mujtaba menegaskan, hasil studi itu akan merekomendasikan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong akuntabilitas warga dalam pemenuhan layanan kesehatan di perbatasan. Penggunaan teknologi informasi berupa e-puskesmas dan e-posyandu perlu dijalankan.
Selain itu, pemberdayaan kader-kader kesehatan lokal juga perlu dioptimalkan. Apalagi, sedikit petugas yang mau bekerja di area itu. ”Akuntabilitas sosial lebih pada kesehatan ialah hak setiap orang,” katanya.