PALU, KOMPAS - Sebanyak 136 unit hunian sementara untuk penyintas gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah, mulai 17 Desember 2018, sudah bisa ditempati. Akhir Desember ini, seluruh penyintas ditargetkan sudah bisa menempati huntara.
"Data saat ini, 65 unit hunian sementara (huntara) telah selesai dikerjakan,” kata Kepala Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Arie Setiadi Moerwanto di Palu, Senin (10/12/2018).
Setiap unit huntara dirancang terdiri atas 12 bilik. Setiap bilik ditempati satu keluarga. Adapun satu unit huntara berukuran 12 meter x 26,4 meter, sedangkan masing-masing bilik berukuran 4,8 meter x 3,6 meter. Sebanyak 136 unit huntara bisa menampung total 1.632 keluarga.
Selain bilik bagi setiap keluarga, setiap unit huntara dilengkapi enam kamar mandi, enam kamar kecil (toilet), satu dapur umum, dan tempat mencuci. Huntara siap huni itu tersebar di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, serta Kelurahan Silae dan Kelurahan Gawalise di Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Pantauan di Petobo, sejumlah unit yang telah selesai dikerjakan dalam kondisi dikunci. Papan dinding huntara dicat putih. Setiap bilik memiliki satu jendela dengan ventilasi memanjang di bagian dekat atap. Masing-masing kamar dilengkapi satu lampu dan kipas angin. Adapun lantai huntara dari papan lapis.
Unit-unit huntara itu ditopang tiang tembok dengan jarak dari permukaan tanah sekitar 40 sentimeter. Kabel listrik juga telah dipasang, tetapi meteran belum terlihat. Satu tangki penampung air untuk masing-masing unit huntara pun telah dibangun.
Kementerian PUPR membangun total 1.200 unit huntara untuk penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi (28 September) di Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi. Tahap pertama dibangun 699 unit.
Adapun sisanya akan dibangun awal tahun depan. Huntara ditempati penyintas sambil menunggu pembangunan hunian tetap yang diperkirakan baru terwujud 1,5 tahun ke depan.
Tidak hanya pemerintah, pihak swasta dan lembaga sosial juga membangun huntara sekitar 100 unit. Arie mengingatkan, huntara perlu kokoh karena akan ditinggali setidaknya 1,5 tahun, menunggu pembangunan hunian tetap. Banyak donatur membangun huntara tak berkoordinasi dengan pemerintah.
Meteran listrik
Arie menyatakan, saat ini masalah huntara adalah instalasi meteran listrik. Rencana awal, masing-masing unit hanya dipasangi satu meteran. Itu dipastikan akan menimbulkan masalah bagi penghuni huntara.
Nova (43), penyintas yang tinggal di tenda dekat kompleks huntara Petobo, meminta pemerintah memasang meteran per bilik. “Kalau meteran umum, masalahnya nanti pada pembayaran. Setiap keluarga pasti berbeda-beda pemakaian listriknya. Bagaimana ini diatur? Bisa-bisa penghuni ribut nanti,” ujarnya.
Terkait itu, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulteng Yanmart Nainggolan menyatakan, masalah itu akan dibicarakan dengan pemerintah pusat. “Besok (hari ini) dibahas di Direktorat Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kami mengusulkan meteran 450 volt ampere untuk setiap bilik. Kami harap itu bisa diterima,” katanya.
Terkai pascagempa, di Mataram, Lombok, NTB, Ikatan Alumni Fakultas Teknik Universitas Indonesia membangun Sekolah TK (Raudatul Athfal/RA) dan SD (Madrasah Iftidaiyah/MI) di Kerandangan, Desa Senggigi, Lombok Barat. Gedung sekolah berupa unit-unit yang disusun khusus (plug and play) sehingga "cepat tanggap" dan tahan berbagai kondisi seperti gempa. Pascagempa, siswa belajar di tenda darurat.