Pemuda Indonesia Merajut Impian di ”Negeri Kanguru”
Oleh
Buyung Wijaya Kusuma
·4 menit baca
Sejumlah anak muda Indonesia belajar secara gratis di sejumlah universitas di Australia. Mereka tak sekadar menimba ilmu, tetapi juga mereguk pengalaman untuk diterapkan kelak di Tanah Air.
Para peraih Australia Awards Scholarship yang sedang belajar di University of New South Wales, Sydney, tidak hanya merantau untuk mendapatkan gelar master. Mereka juga tengah merajut impian yang lebih besar bagi kemajuan masyarakat di Tanah Air kelak. Impian itulah yang menguatkan pertimbangan Pemerintah Australia dalam memberikan kesempatan anak-anak muda potensial itu untuk belajar di ”Negeri Kanguru” secara gratis.
Dalam media visit Kedubes Australia Jakarta, Jumat (30/11/2018), Kompas mengunjungi University of New South Wales (UNSW) dan bertemu beberapa mahasiswa peraih Australia Awards Scholarship (AAS). Di sana terdapat sekitar 300 mahasiswa asal Indonesia yang meraih AAS tahun 2018 ini. Mereka antara lain Febe Amelia Haryanto (Banten), Fransiskus Xaverius Herusandy (NTT), Meitia Ekatina (Bengkulu), Muhammad Izzuddin Kurnia Adi (DI Yogyakarta), dan Al Adi Fitrah (Sulsel). Usia mereka rata-rata 27 tahun.
Meitia, misalnya, yang mengetahui program AAS dari dosen semasa kuliah di kota asalnya, Bengkulu, ingin membuat metode pengajaran inklusif terhadap penyandang disabilitas. Dia mengambil dua gelar master untuk masa kuliah dua tahun, Teach English for Speakers Other Languages dan Special Education.
Perempuan belia ini bermimpi menjadikan Bengkulu lebih terbuka bagi penyandang disabilitas, khususnya bidang pendidikan. Saat ini dia tercatat sebagai pengurus Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) di Bengkulu.
Lain lagi dengan Febe Amelia Haryanto yang mengambil kuliah Master of Commerce Global Sustainability and Social Enterprise.
Social enterprise (wirausaha sosial) adalah suatu cara menyeimbangkan aspek bisnis dan aspek sosial dalam satu kesempatan. Febe bercita-cita membantu usaha-usaha yang berbasis sosial ekonomi. Dia melihat banyak sekali peluang untuk berkarya di sektor tersebut mulai tumbuh di Indonesia. Kebetulan setamat S-1 di Universitas Padjadjaran, Bandung, Febe sempat bekerja di salah satu perusahaan yang cukup berkembang dalam membangun social enterprise, yakni Javara. Lembaga ini sukses memberdayakan petani. Pengalaman ini membuatnya tertarik untuk kelak membantu usaha-usaha tersebut sebelum dia mandiri.
Ekosistem
Menurut Febe, banyak sekali ilmu yang didapatkan di UNSW dan langsung dapat diaplikasikan ke dalam praktik di dunia kerja. ”Misalnya bagaimana sebenarnya ekosistem yang harus dibangun pemerintah dan swasta untuk membuat wirausaha sosial berkembang,” kata Febe.
Sesuai dengan ilmu yang dipelajari, Febe akan mendorong pemerintah dan swasta berkecimpung secara aktif membangun social enterprise karena selama ini hanya terkesan baru swasta yang aktif secara masif.
Peran swasta sudah aktif dalam memberikan capital dan capacity building bagi social enterprise, sementara kalau membandingkan dengan apa yang kami pelajari, peran pemerintah di Indonesia belum terlalu besar.
Hal yang menarik menurut Febe, dirinya baru mempelajari bagaimana mengukur dampak sosial dari social enterprise berdasarkan outcame base, bukan seperti selama ini diukurkan berdasarkan output base. Artinya, keberhasilan harus diukur dari setiap kesempatan untuk hidup lebih baik dari masyarakat yang terlibat dari kegiatan social enterprise.
Misalnya, terdapat lima ibu-ibu PKK yang diberikan pelatihan, yang dilihat bagaimana kehidupan ibu PKK tersebut setelah pelatihan. ”Kami mempelajari peranti yang bisa dipakai untuk mengukur keberhasilan tersebut, bukan hanya melihat rencana-rencana bagus. Tujuannya, mengevaluasi dan mengembangkan kegiatan social enterprise tersebut,” ujarnya.
Al Adi Fitrah yang juga mengejar dua gelar master tak mau ketinggalan. Pemuda asal Galesong, Takalar, Sulawesi Selatan, ini bercita-cita membantu lembaga swadaya masyarakat memperbarui metode pengajaran guru-guru bahasa Inggris di daerah terpencil.
Menurut Adi, bisa jadi selama ini metode pengajaran bahan-bahan dari kurikulum yang ada tidak sesuai dengan lingkungan masyarakat atau bahkan tak sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Saatnya metodologi pengajaran terbuka lebar, bisa disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat yang dididik.
”Misalnya, saat ini pengajaran bahasa Inggris di perkotaan sudah menggunakan alat peraga dengan audio visual. Adapun di daerah terpencil sebenarnya bisa diakali dengan membawa siswa ke alam terbuka dan guru-guru bahasa Inggris menjelaskan apa yang dilihat dan dipegang sebagai alat peraga,” ujar Adi yang pernah bekerja sebagai asisten dosen Universitas Negeri Makassar.
Fransiskus Xaverius Herusandy juga punya impian mengubah metodologi pengajaran bahasa Inggris di daerahnya, Kupang, NTT. Bahasa asing itu sangat penting dalam menggairahkan sektor pariwisata di daerahnya.