Memang, Mau Jalan di Mana Lagi?
Pukul 17.40, Jalan I Gusti Ngurah Rai, Duren Sawit, Jakarta Timur, lengang. Para pengemudi memacu kendaraan, memburu waktu. Di bahu jalan, Mas’oed Zainuri (74) berjalan membelakangi kendaraan yang lalu lalang dengan langkah gontai.
”Prakk” setang sepeda motor matik menyenggol lengan kanan Mas’oed. ”Maaf Pak, saya enggak sengaja. Tadi ada mobil tiba-tiba belok. Kaget saya,” ujar pengemudi motor dengan suara bergetar.
”Ya gila aja kamu kalau sengaja. Udah sana jalan lagi. Tangan saya enggak kenapa-kenapa,” kata Mas\'oed, Jumat (7/12/2018) dengan nada tinggi sambil berjalan menjauhi pengemudi motor.
Hampir setiap hari Mas’oed berjalan di tepi Jalan I Gusti Ngurah Rai. Jarak dia berjalan dengan badan jalan sekitar 5 sentimeter. Kemungkinan Mas’oed untuk tersenggol ataupun tertabrak kendaraan dari arah belakang bisa saja terjadi, tetapi dia tak punya pilihan.
Mas’oed merupakan pedagang minuman ringan di bawah jembatan layang Jalan Bekasi Timur Raya, Jakarta Timur. Dia berjualan mulai pukul 09.00 hingga 20.00, ditemani Zumairah (65), istrinya. Mereka tinggal di Kampung Bulak, salah satu daerah di Kelurahan Klender.
”Pagi dan malam saya harus lewati jalanan ini untuk berjualan,” kata Mas’oed. Cemas pun menjadi sahabat. ”Ya, setiap hari waswas. Motor ngebut-ngebut, tetapi ya mau gimana lagi,” kata pria asal Madura, Jawa Timur, itu.
Kondisi trotoar di Jalan I Gusti Ngurah Rai memang belum ramah bagi para pejalan kaki. Kondisi trotoar yang berbatu dan tidak dipasangi paving block membuat Mas’oed memilih berjalan di aspal ”Namanya orang tua ya, kalau jalan di trotoar kayak gini, saya takut kesandung. Mata sudah enggak awas,” ujar Mas’oed.
Hal serupa juga dirasakan Sutrisno (57). Baginya, berjalan di bahu Jalan I Gusti Ngurah Rai adalah rutinitas. Hampir setiap hari Sutrisno menyeberangi lautan kendaraan hingga berjalan di aspal menuju Stasiun Commuter Line Klender. ”Memang, mau jalan di mana lagi?” ujarnya.
Pria yang bekerja di salah satu pabrik percetakan di Duren Sawit itu saban hari menggunakan kereta untuk pulang ke rumahnya di Cikarang. Dia memerlukan waktu 15 menit untuk tiba di stasiun dengan berjalan kaki. Sayangnya, akses trotoar dan jembatan penyeberangan orang memaksa Sutrisno berjalan di aspal, tempat kendaraan berlalu lalang.
Zona tengkorak
Berdasarkan laporan Koalisi Pejalan Kaki, terdapat 150 aduan dari masyarakat terkait ketiadaan ataupun ketidakamanan trotoar di Jalan I Gusti Ngurah Rai. Selain itu, aksesibilitas antarmoda juga belum terintegrasi. Alhasil, Koalisi Pejalan Kaki menetapkan jalur tersebut menjadi salah satu zona tengkorak bagi pejalan kaki di Jakarta.
Di Jalan I Gusti Ngurah Rai, terdapat dua transportasi massal, yakni transjakarta dan commuter line. Akan tetapi, aksesibilitas antarmoda belum terintegrasi. Penumpang commuter line yang ingin melanjutkan perjalanan menggunakan transjakarta harus berjalan di sisi jalanan. Selain itu, jembatan penyeberangan orang dan pelican crossing (penyeberangan swakendali) juga belum tersedia.
”Wilayah ini salah satu dari 100 zona tengkorak di DKI Jakarta,” ujar Alfred Sitorus, Ketua Koalisi Pejalan Kaki, saat mengadakan ”Tamasya Trotoar Kita”, Jumat sore. Zona tengkorak yang dimaksud Alfred adalah zona yang tidak sama sekali ramah dengan pejalan kaki ataupun penyandang disabilitas.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Aturan Jalan menyatakan, setiap jalan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi perlengkapan jalan berupa fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang disabilitas. Pejalan kaki dan penyandang disabilitas berhak atas ketersediaan fasilitas trotoar dan tempat penyeberangan.
John J Fruin dalam bukunya berjudul Pedestrian Planning and Design (1971) mengatakan, pejalan kaki berhak menyeberang secara aman dan nyaman tanpa perlu takut tertabrak kendaraan lain. Pejalan kaki juga patut memperoleh tempat yang tidak terganggu oleh apa pun saat berjalan.
Menggugat hak
Mas’oed dan Sutrisno adalah cerminan ketidakamanan para pejalan kaki di Jakarta. Hidup keduanya terancam sejengkal jalanan di Ibu Kota yang tidak memiliki fasilitas bagi pejalan kaki. Padahal, keamanan dan kenyamanan pejalan kaki merupakan wujud keberadaan sebuah kota.
Nirwono Joga, pengamat tata kota, mengatakan, kota beradab adalah kota yang mampu menyediakan fasilitas bagi pejalan kaki. Sebab, hanya dengan berjalan kaki, warga kota bisa merasakan kondisi langsung sebuah perkotaan.
Dalam buku berjudul Komedi Lenong: Satire Ruang Terbuka Hijau (2007), Nirwono mengatakan, jiwa kota sesungguhnya ada pada ruang gerak pejalan kaki yang terhubung dengan seluruh komponen kota.
”Lihatlah Champ-Elysees di Paris, Orchard Road di Singapura, Bukit Bintang di Kuala Lumpur, Huaqiangbei di Shenzen, atau Bourke Street Mall di Melbourne. Warga kotanya justru lebih memilih menggunakan sarana transportasi publik, bersepeda, atau berjalan kaki,” kata Nirwono.
Sementara di Jakarta, pejalan kaki dipaksa bertarung dengan kendaraan dan pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar. Di beberapa sudut kota, trotoar bahkan digunakan sebagai lahan parkir kendaraan.
Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, mengatakan, pemerintah provinsi perlu menegaskan kembali UU No 22/2009 sebagai dasar pijakan bertindak. Hal itu dibarengi dengan konsistensi penegakan hukum dan pengawasan di lapangan.
”Penegakan hukum dengan cara konvensional harus diubah ke cara elektronik. Salah satunya dengan memasang kamera pemantau (CCTV) untuk mengawasi kondisi trotoar juga bisa dilakukan,” ujarnya. (Dionisio Damara)