Jejak Salon-salon Legendaris Ibu Kota
Gaya hidup warga Ibu Kota dapat dilihat dari perkembangan salon-salon yang ada. Usaha salon semakin ramai sejalan dengan kesadaran warga tampil dengan estetika lebih baik. Di tengah munculnya salon-salon baru, salon legendaris masih diminati warga.
Sejumlah salon legendaris di Jakarta menjadi saksi bisu warga kota bersolek. Tempat yang sudah puluhan tahun berdiri masih bertahan di tengah sengitnya persaingan usaha salon. Meski sebagian meredup, salon-salon itu tetap menjadi pilihan warga memperbaiki penampilan mereka.
Lampu tabung berornamen ulir biru, merah, hijau khas salon khusus pria menyala di depan Kings Barber Shop, Jalan Mangga Besar Raya Nomor 26, Jakarta Barat, Kamis (6/12/2018). Begitu memasuki ruang Kings Barber Shop, kami menemukan lima kursi tua untuk pangkas rambut menghadap ke kaca besar. Sandaran kursi besi merek Belmont yang berumur puluhan tahun itu bisa diubah posisinya, naik-turun, sesuai keinginan. Sementara di bagian belakang kursi itu tergantung alat cukur rambut.
Siang itu, Mardan (74), pemangkas Kings Barber Shop, mengambil kain penutup dan handuk kecil setelah seorang pria memasuki salon. Tidak ada percakapan yang keluar dari mulut keduanya. Mardan segera mencukur sedikit demi sedikit rambut si pelanggan. ”Biasa itu, sudah langganan. Tak perlu tanya, tukang cukur tahu keinginannya,” ujar Yuliana (40), karyawan Kings Barber Shop.
Begitu pun saat pemotongan rambut hingga proses akhir, keduanya tak banyak bercakap-cakap. Sebagai pelengkap layanan, ia memijat pundak pelanggan. Interaksi mereka berakhir saat pelanggan memberikan uang tip ke tangan Mardan sebelum pergi.
Kings Barbershop merupakan salah satu salon legendaris di Jakarta sejak 1980-an dan meraih masa kejayaan sekitar 1983. Saat itu, Kings memiliki lima cabang di Krekot Pasar Baru, Tomang, Olimo, Pasar Pagi Asemka, dan Pejagalan.
Pelanggan setia
Di era 1980-an, tarif pangkas rambut Rp 1.500, jauh lebih mahal ketimbang sepiring nasi rames ketika itu, Rp 100. Meski demikian, karyawan bisa melayani lebih dari 100 orang per hari. Jumlah pelanggan kini turun, paling banyak 25 orang per hari. Ini terjadi karena banyaknya usaha serupa tumbuh di Jakarta.
Salon legendaris lain yang bertahan hingga kini adalah Shinta’s Barber Shop. Salon mungil di lantai satu Mal Menteng Huis, Cikini, Jakarta Pusat, itu mulanya berada di kawasan Taman Menteng sejak 1969. Pada 2006, lahan salon dipakai untuk pembangunan taman dan pindah dari sana.
Shinta’s Barber Shop saat ini jauh lebih sempit ketimbang saat masih di Taman Menteng. Ruang salon hanya menampung tiga kursi potong rambut dan kaca besar di hadapannya. Tempat keramas pun hanya ada satu di belakang ruang. Jumlah pengunjung juga merosot, rata-rata 30 tamu per hari.
Meski demikian, salon bertarif Rp 75.000 potong rambut per kepala itu memiliki pelanggan setia, di antaranya mantan Menteri Keuangan (1998) Fuad Bawazier dan mantan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2004-2005) Alwi Shihab. ”Dua bulan lalu mereka masih potong rambut,” ujarnya.
Bicara salon legendaris belum lengkap jika tidak mengulas Pemangkas Rambut Ko Tang. Tempat yang berada di Gang Gloria, Petak Sembilan, Jalan Pintu Besar 3 Glodok, Jakarta Barat, ini sudah berdiri sejak 1936.
Lebih dari 80 tahun, salon ini tidak ada yang berubah. Kursi cukur merek Takara, wastafel cuci rambut, lantai dan tembok berlapis tegel putih, serta pajangan huruf Mandarin masih ada.
Korek kuping
Cik Yeye (48), kasir Ko Tang, mengatakan, jenis layanan di tempat itu juga dipertahankan, yaitu cukur rambut, jenggot, semir, dan korek kuping. Untuk korek kuping, layanan ini tak bisa dilakukan sembarang orang. Petugasnya belajar teknik korek kuping tiga tahun sebelum melayani pengunjung hingga piawai menggunakan alat cukil aneka jenis dan bulu sikat yang mungil. Hanya ada tiga petugas korek kuping di Ko Tang saat ini.
Selama puluhan tahun, Ko Tang tidak pernah mempromosikan diri. Informasi menyebar hanya dari mulut ke mulut. Namun, pelanggan datang dari banyak kota di Indonesia. Orang-orang ternama juga pernah datang ke sini, seperti Joko Widodo saat menjadi Wali Kota Solo, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, dan aktor kenamaan Chicco Jerikho dan Rio Dewanto.
Persaingan pengusaha salon kian sengit seiring dengan terbukanya peluang bagi penata rambut sebagai pilihan profesi.
Pilihan profesi
Profesi ini makin populer dengan kiprah orang-orang seperti Rudy Hadisuwarno dan Martha Tilaar. Dalam otobiografinya berjudul Rambut dan Bisnis Gaya Hidup (1997), Rudy memulai membuka salon di ruang tamu rumah, di Jalan Kemakmuran (kini Jalan KH Hasyim Asyari), Roxi, Jakarta Pusat.
Keinginan Rudy menggeluti bidang itu begitu kuat. Pada 1971, ia ikut kursus di tiga sekolah tata rambut terbaik di dunia, yaitu Vidal Sassoon, Alan International, dan Morris School of Hairdressing, London, Inggris. Setelah lulus, ia memutuskan meninggalkan kuliah di Fakultas Teknik Universitas Trisakti untuk fokus tata rambut.
Kesadaran memopulerkan tata rambut mendorong Rudy membuka lembaga kursus pada 1974. Setelah membuka salon di Duta Merlin, Jakarta, usaha Rudy kian tenar.
Seperti halnya Rudy, Martha Tilaar juga mengembangkan usaha serupa. Martha pun memulai usaha dengan membuka salon di garasi rumah di Menteng, Jakarta Pusat, pada 1970. Dalam biografi berjudul Doktor (HC) Martha Tilaar bagi Indonesia Perjalanan Seorang Perempuan Entrepreneur Mengubah Mimpi Menjadi Nyata karya Ayu Hermawan dikisahkan bahwa Martha merupakan salah satu tokoh yang membuat salon internasional di Indonesia.
Ia memilih membuat kosmetik tradisional sebab peredaran kosmetik di Indonesia didominasi produk asing. Nilai-nilai tradisional ini kemudian menjadi tulang punggung bisnisnya. Hingga kini, industri salon semakin ramai di Ibu Kota. Berbagai produk dan jasa perawatan tubuh makin beragam. Dan, salon-salon itu menjadi saksi bisu perkembangan gaya hidup warga.
(Siska Natalia dan Sharon Patricia)