PALANGKARAYA, KOMPAS - Pembukaan hutan di Kalimantan Tengah merenggut hak-hak masyarakat adat. Hingga kini, belum ada wilayah kelola adat yang diakui pemerintah daerah, yang jadi bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
“Di Hari HAM (hak asasi manusia) Internasional, pemerintah dan korporasi harus menerapkan kebijakan tanpa mengabaikan HAM. Saat ini, cara-cara represif dilakukan,” kata Program Manager Yayasan Pusaka Ditta Wisnu di sela diskusi soal Perayaan Hari HAM Internasional di Palangkaraya, Minggu (9/12/2018).
Selain Pusaka, diskusi dihadiri beberapa lembaga pemerhati lingkungan di Kota Palangkaraya, Kalteng seperti AGRA, Progress, dan Serikat Pekerja Sawit Indonesia (Sepasi).
Selama panitia hukum adat tidak dibentuk, hutan adat tidak bisa disahkan.
Data Yayasan Pusaka, dari 15,3 juta hektar total luas wilayah administrasi Provinsi Kalteng, 78 persen atau 11,3 juta ha wilayahnya masuk kawasan konsesi, baik perkebunan atau pertambangan. Rinciannya, 4,8 juta ha untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), 2,9 juta ha ijin perkebunan, dan 3,6 juta ha pertambangan.
Konversi lahan dari hutan ke berbagai konsesi menimbulkan konflik, seperti dengan masyarakat adat. Banyak komunitas masyarakat adat kehilangan wilayah kelola atau hutan.
“Ini jadi bentuk pelanggaran HAM terhadap masyarakat hukum adat. Mereka tidak diakui,” kata Ditta. Di Kabupaten Lamandau, 1.242 hektar hutan dibuka atau dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit yang meresahkan warga.
Di Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, pembukaan lahan oleh PT Sawit Mandiri Lestari (SML) berujung konflik. Saling klaim wilayah kelola antara komunitas adat Laman Kinipan dengan perusahaan.
Haeruddin Tahir, Executive Operation PT SML mengatakan, pihaknya belum membuka sampai wilayah itu, meski sudah mengantongi izin lengkap, termasuk Desa Kinipan. ”Dari peta yang kami dapat dari pemerintah, wilayah itu bukan milik Kinipan. Itu wilayah Desa Karang Taba,” kata dia.
Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing mengungkapkan, sejak 2012 pihaknya menolak kehadiran perusahaan, tetapi pemerintah tetap memberi ijin. Hutan yang sudah dibuka saat ini tempat mereka mencari penghidupan.
“Madu hutan, tanaman obat, dan hasil buruan tidak ada lagi. Bagaimana kami mau ambil madu kalau pohonnya tidak ada,” ungkap Buhing.
Data Perhutanan Sosial di Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, dari target 1,5 juta ha perhutanan sosial, belum ada satu pun hutan adat yang disahkan. Pemerintah daerah terkendala koordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten.
Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Hutan Adat Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Ikhtisan mengungkapkan, terdapat 12 peta wilayah kelola adat yang sedang diverifikasi petugas kehutanan. Meskipun demikian, pengesahan menunggu pembentukan panitia hukum adat dari pemerintah kabupaten.
“Kami sedang gencar-gencarnya melaksanakan sosialisasi ke daerah-daerah supaya masyarakat juga tahu dan juga menghindari konflik lahan,” ujar Ikhtisan.
Ikhtisan menambahkan, ”Selama panitia hukum adat tidak dibentuk, hutan adat tidak bisa disahkan. Sampai saat ini belum ada satu pun hutan adat yang sudah disahkan di Kalteng.”
Menambah emisi
Pembukaan lahan juga menambah emisi gas rumah kaca. Hal itu bertentangan dengan Kesepakatan Paris di mana target tahun 2030, Indonesia berkomitmen menurunkan 29 persen emisi gas rumah kaca atau setara 2,8 gigaton karbon dioksida. (Kompas, 8 Desember 2018).
Dekan Fakultas Kehutanan dan Pertanian Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Siti Maimunah menjelaskan, konversi hutan primer menjadi hutan sekunder melepaskan karbon setara 278,9 ton per hektar per tahun. Bila dijadikan kebun kelapa sawit, maka akan menambah 711,8 ton karbon per hektar per tahun.
“Itu hitung-hitungan di hutan gambut, belum hutan dengan kandungan mineral lainnya,” ungkap Siti.