JAKARTA, KOMPAS—Banyaknya berita palsu atau hoaks yang tersebar di dunia maya dinilai meresahkan masyarakat. Literasi digital perlu ditanamkan sejak dini lewat budaya berpikir kritis.
Berdasarkan hasil survei Masyarakat Telematika Indonesia tentang Wabah Hoaks Nasional per Februari 2017, sebanyak 44,3 persen masyarakat menerima hoaks setiap hari dan 17,2 persen mengaku menerima lebih dari satu hoaks setiap hari.
Penyebaran hoaks melalui media sosial menempati peringkat pertama, yaitu 92,4 persen. Aplikasi percakapan daring dan situs laman masing-masing memiliki porsi 62,8 persen dan 34,9 persen. Sedangkan, penyebaran hoaks lewat media cetak, radio, dan televisi nilanya masih dibawah sepuluh persen.
Artinya, mayoritas hoaks muncul dan tersebar di dunia maya. Kemajuan teknologi menyebabkan mudahnya informasi tersebar tanpa terverifikasi. Masyarakat dituntut untuk berpikir kritis setiap kali menerima informasi.
“Untuk menghadapi hoaks perlu memahami literasi digital agar bisa menavigasikan diri,” kata Shafiq Pontoh, pemerhati media sosial, saat debat publik bertajuk Literasi Digital: Kebudayaan Hari Ini dan Esok dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2018, di Jakarta, Jumat (7/12/2018).
Pemahaman literasi digital, kata Shafiq, harus dibangun melalui kebiasaan. Misalnya, menahan diri untuk tidak menyebarkan informasi tidak jelas ke orang lain dan mengunggah konten positif.
Kebiasaan itu jika dilakukan setiap hari akan menjadi suatu budaya dalam ekosistem digital positif. Dunia digital seyogianya dimanfaatkan untuk meningkatkan kebaikan dan ilmu.
Berlatih kritis
Peneliti Remotivi Roy Thaniago menilai, literasi digital perlu disadari dengan selalu berpikir kritis. Artinya, selalu mempertanyakan sumber informasi yang diterima dan mencari tahu kebenaran informasi itu.
“Latihan berpikir kritis sangat bermanfaat untuk mengevaluasi setiap informasi itu,” kata Roy.
Digital literasi juga bisa menjadi alat untuk menemukan budaya kekeluargaan. Ekosistem digital menyediakan peluang untuk memberikan kontribusi positif bagi sesama dan negara.
Ditemui secara terpisah, Tita Djumaryo, pendiri Ganara ART, menyampaikan, anak muda memerlukan pondasi berpikir kritis yang kuat untuk menangkal hoaks. Hal itu dapat dilatih sejak dini lewat aktivitas seni.
“Seni melatih mereka dalam mendapatkan proses untuk berpikir kritis,” kata Tita.
Berpikir kritis tidak serta merta datang begitu saja, lanjut Tita, lewat diskusi akan memicu mereka untuk menyampaikan pendapat. Mereka akan mampu mengolah argumen, mendengarkan, menyimpulkan, dan berpikir sistematis.