Metode pembelajaran di sekolah menengah kejuruan di Indonesia dinilai belum efisien karena tidak selaras dengan kebutuhan industri. Untuk itu, semua SMK ditargetkan bermitra dengan industri pada 2019.
JAKARTA, KOMPAS Pemerintah menargetkan semua sekolah menengah kejuruan wajib bermitra dengan perusahaan dari dunia industri dan usaha. Hal itu bertujuan menjamin terwujudnya keselarasan perkembangan program studi di sekolah dengan kebutuhan nyata di industri agar tak ada lagi lulusan vokasi, termasuk SMK, yang menganggur.
”Penjajakan kemitraan dilakukan bertahap. Tahun 2019 diharapkan dari 14.000 SMK, 2.600 bermitra dengan industri. Ada 700 perusahaan yang membina SMK atau dalam penjajakan,” kata Kepala Subdirektorat Penyelarasan Kejuruan dan Kerja Sama Industri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Saryadi dalam seminar Harmonisasi Program Studi SMK dengan Dunia Industri, Kamis (6/12/2018), di Jakarta. Acara itu diadakan PT Astra Internasional.
Kerja sama dengan industri tak terbatas pada perusahaan besar. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia mengamanatkan kepala daerah memetakan industri lokal. Hal itu bertujuan membangun perekonomian lokal, memberdayakan masyarakat, dan melestarikan keunikan dunia usaha setempat.
Berdasarkan data Kemdikbud, dari 14.000 SMK, ada 400 SMK berstatus tak layak, baik dari segi jumlah siswa, kegiatan pembelajaran, maupun pemagangan. Pemerintah daerah diimbau segera menggabungkan dua hingga beberapa SMK yang jumlah siswanya sedikit atau merevitalisasi program studi yang ada dan menggantinya dengan jurusan yang relevan.
Jangan didik siswa SMK agar menjadi seperti robot, tetapi sebagai calon inovator.
Ada 5 juta siswa SMK. Jurusan teknologi dan rekayasa dengan jumlah siswa terbanyak, yaitu 1,6 juta orang, disusul jurusan bisnis dan manajemen dengan 1,2 juta siswa. Peringkat ketiga jurusan teknologi informasi dan komunikasi dengan 1,1 juta siswa.
Staf Ahli Mendikbud Bidang Inovasi dan Daya Saing Ananto Kusumo Seto menambahkan, paradigma pendidikan SMK harus diubah. ”Tidak hanya mengajar keterampilan, tetapi juga mengembangkan karakter, seperti berpikir kritis, berjejaring, berinovasi, dan bekerja keras. Jangan didik siswa SMK jadi seperti robot, tetapi jadi calon inovator,” ujarnya.
Belum efisien
Direktur Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri Kementerian Perindustrian Mujiono menilai, metode pembelajaran di SMK belum efisien. Mayoritas SMK mempraktikkan 60 persen teori dan 40 persen praktik. Padahal, semestinya SMK harus menekankan praktikum di industri lewat pemagangan.
”Setiap tahun, dunia industri membutuhkan 637.000 tenaga kerja baru. Pendidikan vokasi Indonesia belum bisa memenuhi kebutuhan itu karena belum semua SMK memiliki kurikulum selaras dengan industri. Akibatnya, jumlah lulusan bermutu hanya dari SMK-SMK tertentu,” ujarnya.
Selain masih jarangnya keselarasan dengan industri, 30 persen SMK memiliki alat praktik yang sudah ketinggalan dua gnerasi dari industri. Akibatnya, siswa tidak mendapat gambaran mengenai fakta lapangan. Apalagi masih ada SMK yang mitra dunia industrinya juga belum bisa memberikan pengalaman magang yang produktif karena keterbatasan kemampuan maupun kesadaran melakukan pelatihan.
Mujiono menambahkan, Kementerian Industri memberi insentif kepada perusahaan yang membuka laboratorium pelatihan kepada para siswa SMK. Bentuknya berupa keringanan pajak sebanyak 200 persen dari jumlah investasi perusahaan tersebut. Syaratnya, selain ada sarana fisik, juga ada program pemagangan dan pelatihan yang terstruktur dengan sistem evaluasi dan pembenahan berkelanjutan untuk siwa maupun guru SMK.
Ia juga menekankan pentingnya pengembangan pendidikan vokasi karena tenaga ahli lulusan vokasi merupakan tulang punggung industri. Di Indonesia, jumlah politeknik baru 6 persen dari total perguruan tinggi. Jumlah ini jauh tertinggal dari negara-negara lain seperti Belanda yang jumlah lembaga pendidikan vokasinya adalah 69 persen dari total sekolah dan perguruan tinggi, China (59 persen), Swiss (67 persen), India (36 persen), dan Jerman (45 persen).
Direktur Politeknik Manufaktur Astra Tony Harley Silalahi mengatakan, lembaga vokasi jangan menunggu uluran tangan dari industri. Justru mereka harus proaktif mendekati industri dan mengajak untuk bekerja sama. Selain itu, segenap warga lembaga vokasi hendaknya memiliki pemikiran terbuka yang menerima kritik dan saran dari industri serta siap melakukan perubahan jika diperlukan. “Manfaatkan betul tenaga profesional dari industri sebagai guru atau dosen tamu,” ucapnya.
knologi, dan Pendidikan Tinggi Ainun Naim pada Simposium Aktuaria di Era Industri 4.0, di Jakarta, kemarin, mengatakan, perguruan tinggi didorong menguatkan kerja sama dengan industri dalam memberi kesempatan magang bagi mahasiswa hingga riset potensial untuk digunakan industri.