JAYAPURA, KOMPAS—Kawasan sekitar Danau Sentani, di Kabupaten Jayapura, Papua merupakan pusat keragaman genetik sagu di dunia. Namun demikian, saat ini konversi hutan sagu menjadi fungsi lain kian marak sehingga dikhawatirkan merusak pusat asal dan keragaman hayati tanaman pangan ini.
"Dari kajian para peneliti telah ditemukan 32 jenis tanaman sagu di sekitar Danau Sentani, sedangkan yang sering dimanfaatkan masyarakat ada sekitar 16 jenis," kata John Herman Mampioer, peneliti sagu dari Dinas Kehutanan Papua yang juga dosen di Universitas Ottow Geisler Papua, Jayapura, di Jayapura, Kamis (6/12).
Dari kajian para peneliti telah ditemukan 32 jenis tanaman sagu di sekitar Danau Sentani, sedangkan yang sering dimanfaatkan masyarakat ada sekitar 16 jenis.
Sebagaimaan diketahui, sagu (Metroxylon sagu Rottb), merupakan tanaman asli Nusantara dengan cadangan terbesar di dunia ada di Papua. Berdasarkan survei yang dilakukan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Bintoro, dengan menggunakan citra satelit pada 2013 menunjukan, luas hutansagu di Provinsi Papua 4.749.325 ha dan di Provinsi Papua Barat 510. 213 ha.
Keragaman jenis tanaman sagu di sekitar Danau Sentani ini merupakan yang tertinggi, karena mencapai lebih separuh dari sekitar 60 jenis tanaman sagu yang ada di Papua. Penelitian Yunus Monim dari Fakultas Pertanian Universitas Papua dan tim yang dipublikasikan di jurnal Agrotek 2017 menyebutkan, sebaran jenis sagu di Sentani yang terbanyak ditemukan di Kampung Ifale dan Kampung Yoboi, yakni mencapai 24 jenis.
Masyarakat lokal biasanya membedakan jenis sagu ini dari keberadaan duri, bentuk daun, batang, hingga warna pati sagunya. Menurut Kepala Kampung Yoboi, Sefanya Wally, beberapa jenis sagu unggul ini menempati posisi tinggi dan harus ada dalam ritual adat. "Seperti sagu phara, selain hasil sagunya banyak produksinya juga lebih enak. Sementara sagu rondo tidak ada seratnya, sehingga setelah dibelah dan diambil bisa langsung dibakar dan dimakan. Sagu rondo biasa dipakai untuk tapal batas tanah," ujarnya.
Untuk mempertahankan keberadaan sagu ini, selain melarang konversi, peraturan adat di Kampung Yoboi telah mewajibkan warga untuk menanam dua anakan dari tiap satu pohon sagu yang ditebang.
Kepala Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Jayapura, Haryanto mengatakan, berdasarkan kajian bersama lembaganya bersama Fakultas Kehutanan Universitas Papua pada tahun 2018, total luas hutan sagu di enam distrik di Jayapura mencapai 3.302,9 hektar (ha). Sebanyak 2.000 ha di antaranya berada di Distrik Sentani.
Namun, menurut Haryanto, luasan hutan sagu di Sentani ini berdekatan di lokasi pusat pembangunan dan permukiman sehingga mengalami tekanan, terutama untuk pembangunan infrastruktur di Kabupaten Jayapura.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jayapura, sebagian besar areal sagu ini berada di kawasan budidaya yang di antaranya diperuntukkan bagi permukiman, industri, pariwisata, pendidikan, hingga pertahanan dan keamanan.
Berdasarkan kajian yang dilakukan, tambah Haryanto, luas hamparan sagu di Kabupaten Jayapura yang akan hilang berdasarakan RTRW ini mencapai 2.832 ha, dan yang terbesar ada di Distrik Sentani sebesar 1.507 ha. Jika RTRW tetap dipertahankan, total hutan sagu yang akan tersisa di Jayapura hanya tinggal 470,5 ha.
Kembali ke sagu
Bupati Jayapura Mathius Awoitauw mengungkapkan, sagu merupakan pangan penting bagi masyarakat adat Papua, khususnya di Jayapura. Namun demikian, kesalahan pembangunan selama ini menyebabkan keberadaan sagu semakin terpinggirkan secara sosial maupun ekonomi.
"Kami sekarang berupaya kembali mengangkat peran penting sagu sebagai pangan lokal. Saya sudah ke Meranti (Riau) dan melihat bagaimana masyarakat di sana bisa sukses dari budidaya sagu sehingga bisa ekspor. Seharusnya di Jayapura yang jadi pusat sagu bisa, hutan sagu kita masih luas," ujarnya.
Mathius menambahkan akan mendorong budidaya sagu. "Jika nanti berhasil, kita bisa ganti bantuan rastra (beras sejahtera) menjadi sastra (sagu sejahtera). Saat ini, ada imbauan ke dinas-dinas agar kembali ke pangan lokal," kata dia.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Jayapura, Hana Hikoyabi menambahkan, secara hukum Pemerintah Kabupaten Jayapura sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 tahun 2000 tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu, namun dinilai perlu diperinci.
"Saat ini tengah dilakukan revisi terhadap RTRW, salah satunya dengan memasukkan tentang konserasi sagu, tetapi sudah dua tahun ini belum jadi revisinya. Jika perlu, kita akan lompati dengan terlebih dahulu revisi Perda tentang pelesetarian hutan sagu," ungkapnya.