Politik Identitas Berpotensi Tidak Berakhir di 2019
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik mencari kekuasaan dengan mengeksploitasi aspek identitas primordial, seperti suku, agama, dan ras, dikhawatirkan tetap berlanjut seusai Pemilu 2019. Tanpa adanya pelembagaan Pancasila yang masif di masyarakat, politik identitas akan mengancam persatuan bangsa Indonesia yang beragam.
Pengajar politik Universitas Presiden yang juga Menteri Riset dan Teknologi (1999-2001) Muhammad AS Hikam, Jumat (7/12/2018), mengatakan, tren populisme dan politik identitas dunia saat ini berakar sebagai respons terhadap globalisme yang telah menciptakan kegagalan struktural, terjadinya kesenjangan ekonomi yang besar. Faktor-faktor ini menyebabkan penggunaan politik identitas terus terasa, termasuk di Indonesia.
”Apabila kelak terus terjadi, tatanan politik akan menjadi sangat sarat identity politics, bisa-bisa melupakan basis bangsa kita yang plural ini. Nanti akan menimbulkan konflik berkepanjangan, yang terlalu mahal untuk dibayar bangsa kita,” kata Hikam dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh PARA Syndicate, Jumat (7/12/2018) di Jakarta.
Selain Hikam, hadir budayawan Mohammad Sobary dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakkir. Diskusi dimoderatori oleh Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo.
Politik identitas primordial di Indonesia, menurut Hikam, merupakan respons terhadap era reformasi, baik pada aspek sosial maupun ekonomi. Di sisi sosial, keterbukaan yang dihasilkan oleh masa Reformasi membawa unintended consequences (konsekuensi yang tidak diinginkan) bahwa berbagai paham asing masuk ke Indonesia, termasuk khilafahisme yang transnasional.
Pembangunan ekonomi yang berjalan selama masa Reformasi pun ternyata tidak terlalu jauh berbeda dengan yang berjalan selama Orde Baru. Hikam menilai, ini menciptakan permasalahan struktural, seperti kesenjangan dan ketimpangan ekonomi.
Perlu pelembagaan Pancasila
Reformasi pun tidak hanya berujung pada keruntuhan rezim Orde Baru, tetapi juga memiliki dampak negatif, yakni tidak berlanjutnya pelembagaan Pancasila di masyarakat. Setelah Orde Baru, hegemoni politik Pancasila tidak dimunculkan oleh pemerintah. ”Muncul kekosongan kredo nasional,” kata Hikam.
Setelah berakhirnya Orde Baru, pelembagaan Pancasila sebagai suatu hegemoni di masyarakat pun baru diupayakan oleh pemerintahan Jokowi-Kalla dengan dibentuknya Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) pada 2017, hampir 20 tahun sejak dimulainya masa Reformasi.
Sempat terhentinya pelembagaan ini, Hikam meyakini, membuat Pancasila tidak tertanam menjadi identitas kebangsaan dan kewarganegaraan masyarakat Indonesia. Kekosongan ini yang membuat masyarakat mencari identitas alternatif. ”Kemudian, mereka menemukan dalam ideologi agama itu,” kata Hikam.
Maka, menurut Hikam, pembebasan Indonesia dari jeratan politik identitas primordial harus melalui sebuah upaya yang komprehensif dan struktural untuk menyelesaikan permasalahan kesenjangan ekonomi dan pelembagaan Pancasila kembali.
Agama harus berada dalam tataran moral, bukan politik praktis. Jika diletakkan sebagai fondasi moral, agama bisa bekerja sama dengan satu sama lain, bisa saling berbicara.
Hikam pun mengatakan, agama seharusnya tidak digunakan sebagai politik praktis. Hikam mengutip pernyataan presiden keempat KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengenai posisi agama sebagai fondasi moral.
”Agama harus berada dalam tataran moral, bukan politik praktis. Jika diletakkan sebagai fondasi moral, agama bisa bekerja sama dengan satu sama lain, bisa saling berbicara,” katanya.
Pemuka agama pun memiliki peran yang penting dalam menangani permasalahan politik identitas primordial. Hikam menilai, ulama-ulama Nahdlatul Ulama harus bisa mengimbangi penetrasi ajaran Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) dan Hizbut Tahrir Indonesia yang menggunakan metode-metode canggih, seperti menggunakan media sosial.
Intoleransi meningkat
Amin mengatakan, memang ada gejala peningkatan intoleransi politik di masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian LIPI, dari 1.800 responden, 57,88 persen menyatakan hanya akan memilih pemimpin yang seagama untuk pemilihan tingkat rukun tetangga (RT) hingga presiden. Sebanyak 40 persen responden pun menyatakan penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah di lingkungan mereka.
Kondisi ini juga berimplikasi pada munculnya fenomena untuk aktif melakukan penolakan terhadap anggota masyarakat lain yang memiliki pilihan politik yang berbeda. ”Seperti pada Pilkada Jakarta, ketika sampai muncul dorongan untuk menolak menshalatkan orang yang berbeda pandangan politik,” kata Amin.
Amin mengatakan, bahaya dari politik identitas adalah tidak terpilihnya orang-orang yang berkinerja dengan baik karena tidak sesuai dengan identitas pemilih.