Duet Maut Koinfeksi HIV-TB
Sejak tiga dekade yang lalu hingga kini infeksi HIV masih menjadi persoalan kesehatan masyarakat yang besar di Indonesia. Di saat yang sama Indonesia juga memikul beban penyakit tuberkulosis yang amat besar. Dua penyakit menular ini bisa menimbulkan koinfeksi yang penanganannya memerlukan keterlibatan banyak pihak dan lebih komprehensif.
Dalam jumpa pers yang digelar UNAIDS memeringati Hari AIDS Sedunia di Jakarta, Senin (3/12/2018), Kepala Subdirektorat HIV dan Penyakit Infeksi Menular Seksual Kementerian Kesehatan Endang Budi Hastuti, menyampaikan, diperkirakan ada sekitar 630.000 orang dengan HIV. Dari jumlah itu baru 48 persennya yang mengetahui statusnya dan baru 15 persennya yang menjalani pengobatan antiretroviral (ARV).
Padahal, komitmen global menargetkan 90 persen orang dengan HIV positif mengetahui statusnya, 90 persen mereka yang positif mengakses terapi ARV, dan 90 persen mereka yang menjalani terapi ARV jumlah virusnya sudah tidak terdeteksi lagi sehingga kemungkinan menularkan menjadi makin kecil. Masih belum maksimalnya mereka yang mengetahui statusnya, rendahnya yang mengakses pengobatan ARV, juga stigma dan diskriminasi merupakan persoalan yang perlu diatasi.
“Di Asia Pasifik, Indonesia (18 persen) menempati urutan ketiga negara dengan penyumbang kasus tertinggi setelah India (31 persen) dan China (22 persen),” ujar Krittayawan Boonto, Direktur UNAIDS Indonesia menambahkan.
Selain HIV, Indonesia juga menghadapi beban kesehatan yang tidak kecil untuk tuberkulosis (TB). Kasus TB ada pada semua kelompok umur dan semua negara di dunia. Sekitar sepertiga kasus TB berasal dari delapan negara, yakni India (27 persen), China (9 persen), Indonesia (8 persen), Filipina (6 persen), Pakistan (5 persen), Nigeria (4 persen), Bangladesh (4 persen), Afrika Selatan (3 persen). Kedelapan negara ini bersama dengan 22 negara lainnya berkontribusi pada 87 persen kasus TB global. Hanya 6 persen kasus TB di dunia berasal dari Amerika dan Eropa.
Tahun 2017 diperkirakan ada 842.000 kasus TB baru di Indonesia. Dari jumlah itu hanya 442.172 (52,5 persen) yang diketahui. Hampir separuh kasus TB belum tercatat dan terlaporkan. Stigma dan diskriminasi juga kerap dialami pasien TB.
Di dunia, tuberkulosis merupakan satu dari 10 penyakit yang banyak diderita. Setiap tahun 1 juta penduduk menderita penyakit ini. Laporan Global TB Report 2018 menunjukkan, diperkirakan ada 10 juta orang di dunia yang terinfeksi TB pada tahun 2017 yang 90 persennya adalah orang dewasa (berusia di atas 15 tahun). Mereka terdiri atas 5,8 juta laki-laki dewasa, 3,2 juta perempuan dewasa, dan 1 juta anak-anak.
Ketika menginfeksi tubuh seseorang HIV dan TB akan saling memengaruhi. Pada orang dengan HIV positif sistem kekebalan tubuhnya menurun sehingga rentan terserang penyakit termasuk infeksi bakteri Mycobacterium tuberkulosis penyebab TB.
Orang dengan HIV positif berisiko 21 kali lebih tinggi terkena TB dibandingkan mereka yang negatif. Bisa jadi infeksi HIV pada seseorang tidak disadari, terlebih jika belum menimbulkan gejala dan orang tersebut belum memeriksakan statusnya. Namun, ketika paru-parunya mulai terinfeksi kuman TB maka infeksi HIV pada tubuhnya sudah memasuki fase AIDS.
Sebaliknya, pada seseorang dengan infeksi laten TB, kuman TB yang ada dalam tubuhnya masih “tertidur”, belum memunculkan gejala. Infeksi HIV pada orang dengan laten TB bisa mengaktifkan kuman TB yang sebelumnya tidur.
Di dunia, pada tahun 2016 diperkirakan ada 1 juta orang dengan HIV/ AIDS terkena TB. Penyakit TB pun menjadi penyebab kematian utama pada orang dengan HIV positif. tahun 2016 ada 370.000 orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang meninggal karena TB. Dengan koinfeksi HIV-TB seperti itu diperlukan program penanganan yang terintegrasi terutama untuk mencegah TB pada ODHA, menemukan dan mengobati kasus koinfeksi HIV-TB secara dini.
Sayangnya, menurut Endang, saat ini fasilitas kesehatan yang memiliki program layanan HIV juga TB sekaligus tidak banyak. Fasilitas kesehatan dengan program layanan TB masih lebih banyak dibandingkan faskes dengan program layanan HIV. Akan tetapi, faskes dengan layanan TB pun belum semuanya memiliki layanan HIV.
Oleh karena itu, mengatasi koinfeksi HIV-TB tidak bisa dilakukan sendirian oleh tenaga kesehatan. Perlu keterlibatan berbagai pihak seperti misalnya organisasi masyarakat sipil dan kelompok dukungan pasien untuk menemukan setiap kasus TB, mendorong kelompok kunci/ berisiko untuk memeriksakan statusnya, dan mendorong mereka yang positif HIV dan TB untuk menjalani pengobatan.
Maka dari itu, telah menjadi tata laksana bahwa setiap mereka yang positif HIV untuk diperiksa TB juga sebaliknya pasien TB dites apakah HIV positif atau tidak. Terapi ARV akan mengurangi risiko mereka yang HIV positif terinfeksi TB dan mengurangi risiko TB laten jadi TB aktif.
Kumpulan gejala
Salah satu tantangan yang muncul saat mengobati orang dengan koinfeksi HIV-TB adalah Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS). IRIS merupakan kumpulan gejala atau manifestasi klinis akibat respons imun yang meningkat secara cepat terhadap berbagai infeksi maupun antigen noninfeksius setelah pemberian antiretroviral fase awal dan tingkat CD4 yang rendah. Pemberian ARV di fase awal akan menekan jumlah virus HIV secara cepat sehingga sistem imun pun pulih dan CD4 pun meningkat.
Sistem kekebalan tubuh yang pulih dengan cepat itu cenderung merespon infeksi secara berlebihan. Infeksi yang sebelumnya sudah terkendali pun bisa jadi direspon oleh sistem imun sehingga menimbulkan peradangan. Kondisi itu justru membuat efek yang paradoksal. Peradangan sebagai respon imunitas terhadap infeksi justru akan memperparah kondisi tubuh.
Gejala umum IRIS termasuk demam, pembengkakan kelenjar getah bening, pneumonia, hepatitis, dan radang mata. Meskipun kurang umum, beberapa orang dapat mengalami perubahan kognitif atau mental jangka pendek, termasuk masalah memori. Ini terjadi beberapa minggu setelah memulai terapi ARV atau pada mereka yang memulai kembali pengobatan setelah berhenti sementara. Mereka yang mengalami IRIS dianjurkan untuk melaporkannya kepada dokter.
Untuk mengatasi koinfeksi HIV-TB itu diperlukan tenaga dan fasilitas kesehatan yang memiliki kapasitas mendiagnosis dengan cermat terutama bagaimana melakukan manajemen interaksi obat, tumpang tindih efek samping obat, juga menatalaksana IRIS.
Tim dari the University of Cape Town dan the Institute of Tropical Medicine (ITM) Antwerp melakukan riset di Afrika dengan metode randomized, double blind, placebo-controlled terkait IRIS ini. Mereka ingin menguji apakah prednison, obat antiperadangan, bisa digunakan sebagai profilaksis untuk mencegah terjadinya IRIS.
Hasilnya, dari 240 pasien, IRIS terdiagnosis pada 39 pasien yang mendapat prednison dan 56 pada kelompok pasien yang mendapat plasebo. Pemberian prednison empat minggu setelah memulai terapi ARV telah mengurangi risiko terjadinya IRIS dan andai terjadi pun tidak sampai parah. Penelitian ini telah dipublikasi dalam jurnal New England Journal of Medicine 15 November 2018. “IRIS seringkali membuat pasien enggan melanjutkan terapi dan membuat terapi lebih kompleks. Dengan prednison hal ini sebagian bisa dicegah,” kata Prof Lut Lynen, Head of Department of Clinical Science ITM seperti dikutip di laman ITM.