Betapa Berbahayanya Menghirup Udara Jakarta
Anggitasari (21) mengernyitkan dahi sambil menyebrangi Jalan Gatot Subroto, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Mahasiswi yang tinggal di Bogor itu mengenakan masker. Anggita, sapaan akrabnya, mulai rutin mengenakan masker saat di luar ruangan sejak tiga tahun lalu, terutama ketika berkunjung ke Jakarta. Polusi udara Jakarta membuat ia harus melindungi saluran pernafasannya dari paparan gas dan partikel berbahaya.
“Asap kendaraan masih banyak yang hitam. Kalau ke Jakarta, kendaraan juga banyak sekali. Pakai masker karena saya tidak tahu apa yang saya hirup,” katanya ketika ditemui di tepi jalan tidak jauh dari gedung Jakarta Design Center, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (7/12/2018) siang.
Tidak jauh dari posisi Anggita, seorang pedagang air mineral menjajakan dagangannya ke pengemudi motor atau mobil saat lampu merah menyala. Usep (33) tidak mengenakan masker. Ia hanya mengenakan topi untuk melindungi diri dari sengatan matahari.
“Enggak betah pakai masker. Pengap. Saya sudah biasa kok,” kata Usep. Ia hampir setiap hari menjajakan dagangannya di sekitar Jalan Gatot Subroto. Ia hanya rehat di bawah jembatan layang ketika makan siang. Usep bekerja rata-rata selama 12 jam dalam sehari tanpa melindungi saluran pernafasannya dengan masker.
Sekitar pukul 16.00, menurut pantauan udara AQCN (aqicn.org) tingkat polusi udara Jakarta tergolong tidak sehat untuk kelompok sensitif. Kandungan particulate meter (PM) 2,5 sebanyak 139. Padahal, kualitas udara yang baik adalah kandungan PM 2,5 di udara ada pada rentang 0-50.
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto, mengatakan, PM 2,5 adalah partikel berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron. Partikel itu bisa berbahaya jika terhirup oleh seseorang dalam jangka waktu yang panjang. Partikel kecil itu bisa masuk sampai ke saluran nafas bawah, seperti alveoli, yakni tempat pertukaran oksigen dan karbondioksida di dalam paru-paru.
“Bahkan partikel tersebut bisa masuk ke pembuluh darah. Itu bisa menimbulkan reaksi peradangan lebih lanjut yang ada di sistem jantung. Dampak jangka pendeknya, orang bisa mudah sekali bersin-bersin, tenggorokan sakit atau gatal, berdahak, dan batuk-batuk,” ujar Agus ketika dihubungi.
Agus mengatakan, jika terus terpapar polusi udara, seseorang bisa mengidap infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Agus mengatakan, beberapa penelitian di banyak negara menunjukkan bahwa kecenderungan pengidap ISPA yang tinggi berada di daerah yang berpolusi udara tinggi. Hal itu menunjukkan bahwa pengendalian polusi udara begitu penting bagi kesehatan masyarakat.
Agus mengatakan, partikel dan gas berbahaya bagi tubuh datang dari rokok, buangan kendaraan bermotor, dan buangan industri. Efek jangka panjang jika seseorang menghirup udara yang mengandung gas dan partikel berbahaya itu bisa menyebabkan penurunan fungsi paru-paru. Kemungkinan terburuk yang bisa diderita adalah meningkatkan risiko penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Agus mengatakan, PPOK merupakan penyakit paru-paru yang mempengaruhi pernapasan. Jika terjangkit PPOK, kondisi paru-paru seseorang tidak bisa dikembalikan seperti semula lagi. “Itu juga bisa meningkatkan risiko penyakit kanker jika menghirup dalam jangka waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun,” ujar Agus.
Pencegahan
Seseorang tidak mungkin bisa menghindar dari polusi udara di luar ruangan, khususnya di perkotaan seperti Jakarta dan Surabaya. Namun, kemungkinan buruk bisa dikurangi dengan melakukan beberapa hal, salah satunya dengan menggunakan masker yang tepat.
Agus mengatakan, masker tidak bisa menyaring gas berbahaya, tetapi bisa menyaring partikel-partikel dengan ukuran tertentu. Komponen partikel bisa dikurangi dengan menggunakan masker yang tepat. Ia mengatakan, masker N 95 mampu menyaring partikel PM2,5 hingga 90 persen. Namun, masker itu belum dijual bebas di Indonesia.
Masker-masker bedah yang dijual di pasaran hanya mampu menyaring partikel besar berukuran di atas 10 mikron. Meski begitu, Agus tetap menyarankan untuk menggunakan masker saat bepergian ke luar ruangan, terutama saat kondisi udara sedang tidak baik. Rata-rata kualitas udara di Jakarta berkualitas buruk saat jam berangkat kerja, sekitar pukul 08.00-12.00 dan pada jam pulang kerja, sekitar pukul 16.00 – 18.00.
Upaya lain yang bisa dilakukan adalah menjalani pola hidup sehat. Agus mengatakan, penyakit-penyakit yang disebutkan di muka bisa muncul jika daya tahan tubuh buruk. Pola hidup sehat bisa dilakukan dengan istirahat cukup, mengonsumsi makanan bergizi, dan olah raga teratur.
“Kalau beraktifitas di luar ruangan, usahakan ketika kondisi polusi rendah. Sebaiknya dalam satu minggu kita menyediakan waktu sehari untuk menghirup udara segar di tempat-tempat yang memiliki kandungan oksigen tinggi dan polutannya rendah,” ujar Agus.
Banyak aspek yang berkaitan dengan polusi udara, seperti bahan bakar, mesin kendaraan, dan asap buangan industri. Oleh sebab itu, Agus mengatakan, komitmen pemerintah melalui regulasi merupakan hal yang penting untuk menekan polusi udara di perkotaan demi mengurangi kemungkinan penyakit paru-paru masyarakat.
Regulasi
Persentase hari tidak sehat berdasarkan indeks standar pencemar udara di DKI Jakarta pada 2017 mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2016. Pada 2017 diketahui persentasenya sebesar 21 persen atau naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 17 persen (Kompas, 1/2/2018).
Pemerintah memiliki standar baku mutu udara yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Peraturan Menteri LH No 45/1997 tentang Indeks Pencemar Kualitas Udara.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kualitas dan Laboratorium Lingkungan, Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Herman Hermawan mengatakan, baku mutu udara di Indonesia masih lebih longgar dibandingkan standar baku mutu WHO. Beberapa negara berkembang sudah mulai mengacu standar baku mutu itu dengan berbagai cara.
Indeks kualitas udara (IKU) berada pada kategori baik dan sangat baik pada rentang nilai IKU 74-90 untuk kota Jakarta dan Surabaya. Hal itu sesuai dengan peraturan pemerintah. Namun, hal itu jauh di bawah standar versi WHO dengan nilai IKU 50-58.
Herman mengatakan, saat ini pemerintah sedang dalam proses revisi PP 41 Tahun 2009. Pembahasan itu sampai saat ini masih belum selesai sejak tiga tahun lalu.
“Pembahasannya belum selesai karena melibatkan banyak sektor, seperti Kementerian ESDM yang berkaitan dengan penyediaan bahan bakar ramah lingkungan dan Kementerian Perindustrian berkaitan dengan produksi kendaraan yang berbahan ramah lingkungan,” kata Herman.
Berkaca dari negeri China, negeri tirai bambu itu membuat Rencana Aksi Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran udara 2013-2017 dengan memerangi pencemaran udara. Hal itu diterjemahkan dalam meningkatkan standar emisi ambien dan sumber pencemar serta mengurangi konsumsi bahan bakar batubara yang menjadi sumber pencemar (Kompas, 25/11/2018).
Sektor industri yang memainkan peran sebagai pengemisi pun dikontrol ketat dengan memasang lebih dari 10.000 alat pemantau emisi (continues emission monitoring system/CEMS) yang dipantau secara daring oleh otorita lingkungan hidup setempat.
Dukungan teknologi juga dilakukan agar sektor ekonomi tetap berkembang, tetapi minim emisi. Setidaknya ada 1.992 industri yang dipindahkan dan direstrukturisasi dari sekitar Beijing (Kompas, 25/11/2018). (SUCIPTO)