Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Gelar Geguritan Milenial
Oleh
Megandika Wicaksono
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Universitas Jenderal Soedirman bekerja sama dengan majalah penginyongan Ancas dan sejumlah seniman menggelar parade ”Maca Geguritan Milenial”, Kamis (6/12/2018) di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah. Parade tersebut menjadi wadah untuk melestarikan geguritan atau puisi berbahasa Jawa yang mulai ditinggalkan anak muda.
”Parade geguritan ini merupakan ajang konservasi untuk menguri-uri (melestarikan) budaya yang mulai luntur,” kata Kepala Pusat Penelitian Budaya Daerah dan Pariwisata Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Rawuh Edi Priyono, Kamis.
Rawuh menyampaikan, saat ini anak-anak muda atau generasi milenial cenderung kurang dekat dan mengenal apa itu geguritan. ”Geguritan adalah salah satu ekspresi kearifan lokal. Kita diajak becermin pada kearifan lokal Banyumas,” katanya.
Pemimpin Redaksi Ancas Bambang S Purwoko menyebutkan, secara filosofis geguritan memiliki 5 aspek, yaitu sebagai bentuk seni ekspresi, bentuk curahan hati seseorang, bentuk ungkapan kekritisan terhadap suatu kondisi masyarakat, bentuk kearifan lokal, dan juga suatu karya sastra. ”Tidak semua orang mau dan mampu membuat geguritan,” kata Bambang.
Dalam parade tersebut, sejumlah anak muda tampil membacakan geguritan dengan penuh penghayatan, misalnya Rina Savriani (15), siswi kelas X, dan Resmita, siswi kelas XII SMA Negeri Ajibarang. Ada pula penampilan dari seniman Wanto Tirta bersama Musikalisasi Geguritan Kopi dari Komunitas Pinggiran serta penampilan dari Dimas Indiana Senja (27), pengajar di IAIN Purwokerto.
Rina mengatakan, dirinya baru setahun terakhir mengenal geguritan dan membaca puisi menggunakan bahasa Jawa saat duduk di bangku SMA. Saat di SD dan SMP, Rina belum mengenal kesenian tersebut. ”Sebenarnya membaca puisi pakai bahasa sendiri lebih mudah diucapkan dan juga lebih mudah dipahami,” kata Rina yang membacakan geguritan berjudul ”Kelangan” karya Siti Purwati.
Berikut ini geguritan ”Kelangan” yang dibacakan Rina dengan penuh penghayatan:
Kelangan
Mbok, neng endi aku saiki yen arep playon?
Latar omah wisa ora ana
Lapangan wis dadi mall
Mbok, neng endi aku saiki arep penekan?
Wit-wit wis ditegori
Dadi omah cekli lan pabrik
Mbok, neng endi aku saiki arep ciblon?
Kali-kali banyune wis butheg
Kali-kali mili umpluk
Mbok, aku kepengn dolanan motor-motoran
Saka kulit jeruk
Apa isih ana, mbok?
Mbok, aku kepengin
Padhang mbulan dolanan neng latar
Padhange kaya rina
Nanging aku wedi, mbok
Mbulane wis ora padhang
Mbulane ana butane
Butane doyan bandha
Bandhane negara
Adapun Dimas yang berasal dari Bumiayu membacakan geguritan karyanya sendiri yang berjudul ”Kelangan” serta ”Waduk Penjalin”. Dimas mengatakan, saat ini masyarakat tengah terhegemoni bahasa asing dan budaya asing serta kurang melestarikan bahasa sendiri. ”Sekarang ada kecenderungan anak-anak milenial kurang menguri-uri (melestarikan) bahasa sendiri dan juga geguritan,” kata Dimas.
Ia berharap anak-anak muda kian berani dan mau menuliskan apa pun, termasuk perasaannya, dengan menggunakan bahasa lokal sebagai salah satu cara melestarikan budaya. ”Menuliskan puisi dengan bahasa lokal itu tidak akan menghilangkan maknanya. Itu akan tetap bisa romantis, bisa mengungkapkan kesedihan, dan lain-lain. Bahasa lokal juga memiliki nilai yang banyak,” katanya. Puisi ”Kelangan” karya Dimas berbeda isinya dengan ”Kelangan” versi Siti Purwati.