JAKARTA, KOMPAS — Utang berbunga 10 badan usaha milik negara dengan utang terbesar pada triwulan III-2018 mencapai Rp 1.731 triliun. Angka itu dianggap wajar dengan total nilai aset BUMN Rp 7.718 triliun dan liabilitas Rp 5.271 triliun pada periode yang sama.
Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Aloysius Kiik Ro di Jakarta, Selasa (4/12/2018), menyatakan, total aset BUMN pada triwulan III-2018 mencapai Rp 7.718 triliun. Angka itu mencakup aset BUMN sektor keuangan dan nonkeuangan.
Aloysius menambahkan, total nilai liabilitas BUMN mencapai Rp 5.271 triliun, terdiri dari BUMN sektor keuangan Rp 3.311 triliun dan nonkeuangan Rp 1.960 triliun. Liabilitas sektor keuangan Rp 3.311 triliun itu antara lain terdiri dari dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 2.448 triliun atau 74 persen dan cadangan dana premi, termasuk akumulasi iuran pensiun sebesar Rp 335 triliun.
”Dalam akuntansi, DPK dimasukkan sebagai utang sehingga utang terlihat besar. Tidak mungkin bank membayar seluruh DPK. Masyarakat yang membutuhkan uang dapat ambil sendiri di anjungan tunai mandiri (ATM),” kata Aloysius.
Dia mencontohkan BRI yang memiliki liabilitas Rp 1.008 triliun dengan utang berbunga Rp 135 triliun dan DPK Rp 873 triliun; Bank Mandiri dengan liabilitas Rp 997 triliun dengan utang berbunga Rp 166 triliun dan DPK Rp 831 triliun; PT Waskita Karya dengan liabilitas Rp 102 triliun dan utang berbunga Rp 102 triliun.
Menurut Aloysius, BUMN yang memiliki utang berbunga punya kemampuan membayar. Terlihat dari indikator rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER). Sebagai contoh, pada 2017 DER BUMN sektor transportasi sebesar 1,59; properti dan konstruksi 2,99; sektor energi 0,71; dan sektor telekomunikasi 0,77.
BUMN sektor properti dan konstruksi pada awalnya memang perlu mendapat pembiayaan yang besar dari lembaga pembiayaan karena harus menyiapkan dana talangan untuk pembebasan lahan. Namun, setelah proyek berjalan, BUMN tersebut akan mendapat pembayaran dana talangan dari pemerintah.
Direktur Utama PT Wijaya Karya (Persero) Tbk Tumiyana menilai wajar jika utang suatu korporasi meningkat ketika ekuitasnya tumbuh. ”Kalau ekuitas tumbuh, tetapi utang tidak tumbuh, berarti malas. Uang ditaruh di deposito,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Tumiyana, agar korporasi dapat meningkatkan kinerja usaha, utang diperlukan dan seharusnya tumbuh seiring dengan pertumbuhan aset korporasi. Kemampuan membayar tetap diperlukan. Saat ini, rasio DER Wijaya Karya di bawah dua kali.