Peranakan Tionghoa, Kekayaan Peradaban Asia Tenggara
Percampuran darah dan budaya menghasilkan harmoni seperti kita lihat di Brasil, beragam kebudayaan campuran di Amerika Serikat, pertemuan budaya Gereja Ortodoks dan Islam di Rusia, Arab dan Afrika di Afrika, dan masyarakat Jawa di Suriname yang berbaur dengan budaya Afro dan Hindia.
Sementara di Asia Tenggara terdapat komunitas Peranakan Tionghoa yang merupakan campuran budaya keturunan pendatang dari China yang kawin-mawin serta beranak pinak dengan warga dari berbagai wilayah Asia Tenggara menghasilkan masyarakat dan budaya Peranakan Tionghoa yang dikenal sebagai kelompok Babah dan Nyonya.
Komunitas Peranakan Tionghoa serta Peranakan Chity India dari enam negara, terutama dari Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Australia, serta Belanda, datang untuk mengikuti ajang muhibah budaya, yakni Konferensi Peranakan Ke-31 yang digelar di Tangerang, Banten; Rembang-Lasem-Semarang di Jawa Tengah, dan Yogyakarta pada 23-29 November 2018.
Kebaya berbordir indah dipadu kain batik dan kemeja batik beragam corak dengan warna cerah, yang merupakan identitas budaya perempuan dan lelaki Peranakan, menjadi busana harian dalam acara yang berlangsung meriah dalam tiga hari acara pembuka di Tangerang itu.
Ketua Konferensi Peranakan Ke-31 Udaya Halim, yang juga pendiri Peranakan Tionghoa Warga Indonesia (Pertiwi), menegaskan, kebudayaan Peranakan Tionghoa adalah kekayaan budaya khas Asia Tenggara.
”Kalau bicara Peranakan Tionghoa, di Indonesia adalah yang tertua seperti di Tangerang bisa dijejak sejak jaman kedatangan Zheng He (Cheng Ho) sejak 1400-an. Sejauh ini Malaysia berhasil mengemas identitas budaya Peranakan Tionghoa sebagai magnet pariwisata yang meledak di Malaka dan Pinang. Hal sama juga dikembangkan Singapura yang menjadikan budaya Peranakan Tionghoa sebagai salah satu kekayaan budaya dan magnet pariwisata negeri pulau tersebut,” kata Udaya Halim.
Udaya Halim membangun Museum Benteng Heritage yang mengangkat sejarah Peranakan Tionghoa dan sumbangannya dalam budaya setempat di Pasar Lama Tangerang sebagai kampanye budaya dan membangun kohesi dari akulturasi alamiah sejak tahun 1400-an antara Peranakan Tionghoa dan berbagai suku lainnya di Tangerang dan sekitarnya.
Adapun di Penang dan Malaka yang mendapat status sebagai cagar budaya UNESCO memang menjadikan kebudayaan Baba-Nyonya atau Peranakan Tionghoa dan India (di Malaka) sebagai salah satu identitas kultural dan magnet pariwisata. Beragam produk batik, kebaya, selop (kasut manek), dan kekayaan kuliner Peranakan yang memadukan kekayaan dapur Tionghoa dan Melayu menjadi kekhasan Malaka dan Penang.
Negeri pulau Singapura pun tak ketinggalan mengeksplorasi kekayaan budaya Baba-Nyonya di Singapura yang baru didirikan Thomas S Raffles tahun 1816. Bahkan, ada satu siaran drama populer di Singapura, yakni Little Nyonya (Nyonya Kecil), yang memotret keluarga dan kehidupan kaum Peranakan Tionghoa.
Lebih dari setengah abad
Keberadaan kaum Peranakan Tionghoa yang muncul dari perkawinan campur lelaki Tionghoa dan perempuan dari berbagai wilayah Nusantara dan daratan Asia Tenggara sudah berjalan selama berabad-abad.
Kompas dalam satu kesempatan mendapat penjelasan dari Pedanda Padang Tegal atau Ida Pedanda Gde Manuaba di Gria Padang Tegal, Ubud, Bali, tentang Barong Landung, yakni seni pertunjukan di Bali yang menampilkan sosok Raja Bali, Raja Jaya Pangus, dengan permaisurinya, Kang Jin We, yang hidup pada abad 11 Masehi.
”Peranakan Tionghoa di Bali dari zaman itu ada di Kintamani sampai sekarang turun-temurun dan melebur dalam masyarakat Bali,” kata Pedanda Padang Tegal ketika itu.
Pakar budaya Peranakan Tionghoa, Charles Coppel, dari Universitas Melbourne; Leo Suryadinata dari NUS Singapura; dan Peter Carey dari Universitas Oxford yang meneliti soal Pangeran Diponegoro dan kaitan tentang Tionghoa pada masa Perang Jawa (1825-1830) memiliki catatan menarik tentang Peranakan Tionghoa dari masa ke masa di Asia Tenggara.
Leo Suryadinata menjelaskan tentang perkawinan campur yang menjadi cikal bakal masyarakat Peranakan Tionghoa. Ia juga memaparkan sumbangan masyarakat Peranakan ini dalam kesusasteraan Nusantara, seperti ribuan karya sastra Melayu Tionghoa yang dipelopori Lie Kim Hok pada peralihan abad ke-19 ke abad ke-20 sehingga menjadi dasar perkembangan sastra modern Indonesia.
”Presiden Soekarno menganggap Peranakan Tionghoa sebagai salah satu suku di Indonesia. Situasi berbeda pada zaman Orde Baru ketika dipaksakan asimilasi, tetapi diskriminasi tetap terjadi,” kata Leo kelahiran Jakarta.
Ilmuwan LIPI Melly G Tan di sela acara seminar dalam Konferensi Peranakan tersebut mengatakan, apa yang terjadi semasa Orde Baru adalah genosida budaya untuk kepentingan politik penguasa. ”Terjadi total annihilation terhadap sebuah kebudayaan, dalam hal ini budaya Tionghoa dan Peranakan Tionghoa, yang sebetulnya merupakan bagian warisan dari peradaban umat manusia,” kata Melly G Tan.
Leo Suryadinata mempertanyakan apakah kebudayaan Peranakan, termasuk Peranakan Tionghoa, akan diterima secara alamiah sebagai bagian budaya hibrida di Malaysia dan Indonesia. Salah satu peserta dari Phuket, Thailand, dalam sesi tanya jawab, menjelaskan, di Thailand keberadaan Peranakan Tionghoa diterima sebagai kekayaan budaya masyarakat Thailand. ”Kami bercakap dalam bahasa Thai dialek selatan,” kata perempuan yang juga terlihat anggun berkebaya.
Dalam tradisi Peranakan Tionghoa di Thailand yang terpusat di Phuket dan sekitarnya, mereka menggunakan baju bandung yang merupakan busana dengan bagian atas menggunakan kain warna-warni dan bersarungkan batik (terutama batik pesisir dari Jawa) di bagian bawah.
Adapun Charles Coppel menceritakan keunikan dan kekayaan budaya Peranakan Tionghoa yang ditelitinya sejak tahun 1970-an pada masa represi budaya Tionghoa oleh rezim Orde Baru. Coppel menceritakan, hampir 100 persen Peranakan Tionghoa di Jawa, Madura, Pasundan, dan Bali adalah penutur bahasa setempat sebagai bahasa ibu.
”Ada kelompok-kelompok gamelan Peranakan Tionghoa di Jawa. Ada wayang titi yang menjadi khazanah kebudayaan setempat di Jawa Tengah, ada lakon kisah cinta Sampek Engtay yang menjadi pertunjukan keliling di Jawa dan Bali, bahkan direkam dalam bentuk pertunjukan gamelan bali di Bali. Selanjutnya lakon tersebut juga pernah dilarang ditampilkan oleh penguasa Orde Baru,” kata Coppel yang berdarah Inggris-Polandia.
Coppel mengingatkan pentingnya sumbangan budaya Peranakan Tionghoa dalam kesusasteraan Indonesia dan juga dalam seni komedi stambul. Keberadaan wayang orang sebagai pertunjukan umum hingga Srimulat pun merupakan sumbangan seni Peranakan Tionghoa dalam perjalanan sejarah Nusantara.
Coppel secara khusus menampilkan naskah-naskah drama karya Peranakan Tionghoa yang dicatat pujangga dalam aksara Jawa di Jawa Tengah dan Bugis di Sulawesi Selatan untuk menggambarkan proses berkembangnya budaya campuran serta akulturasi alamiah.
Terakhir, Peter Carey, yang sejak tahun 1971 hingga kini meneliti sejarah Pangeran Diponegoro, menceritakan adanya kekerasan terhadap warga Tionghoa di Jawa semasa Perang Jawa (1825-1830), tetapi kekerasan tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan Eropa yang muncul di lingkungan kerabat keraton hingga sistem perpajakan, candu, dan pajak tol yang dijalankan orang Tionghoa.
Sosok Pangeran Diponegoro dikenal sangat sayang dan hormat kepada Pangeran Joyo Kusumo I, putra Sultan Hamengkubuwono II (Sultan Sepuh), dan seorang perempuan Tionghoa asal pesisir Jawa.
Carey mengingatkan, sejak zaman Majapahit, jejak-jejak keberadaan budaya Tionghoa sudah ada di Jawa dan berlangsung secara alamiah. Proses percampuran budaya secara alamiah itulah, menurut Udaya Halim, sebagai kekhasan Indonesia dan Nusantara.
Agenda pamungkas Konferensi Peranakan Ke-31 adalah kunjungan kehormatan dengan parade kebaya-batik menghadap Sultan Hamengkubuwono X di Yogyakarta. Sultan Hamengkubuwono pun secara khusus ingin mengangkat wilayah pecinan di Ketandan, Yogyakarta, sebagai salah satu kekayaan identitas budaya Peranakan Tionghoa di Yogyakarta.