Warga Serahkan Notifikasi Gugatan kepada Gubernur Anies
Oleh
Helena F Nababan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat peduli lingkungan yang menamakan diri Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) mendatangi Balai Kota DKI Jakarta guna menyerahkan notifikasi gugatan warga negara atau citizen law suit (CLS) kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Gugatan yang diserahkan, Rabu (5/12/2018), itu karena kualitas udara di Kota Jakarta yang buruk. Notifikasi CLS itu merupakan bentuk kekecewaan kepada pemerintah akibat lalai menangani polusi udara di Jakarta. Terdapat tujuh tergugat yakni Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten.
Arip Yogiawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang juga kuasa hukum para penggugat saat dikonfirmasi membenarkan adanya agenda penyerahan notifikasi gugatan warga tersebut. Penyerahan notifikasi merupakan prosedur.
Didalam rilis yang diterima Kompas, para penggugat ada 19 orang. Selain Inayah dan Melanie, terdapat pula Anwar Ma’ruf, Hermawan Sutantyo, Nur Hidayati, Kholisoh, Tubagus Soleh Ahmadi, Sudirman Asun, Ohiongyi Marino, Merah Johansyah, Leonard Simanjuntak, Asfinawati, Elisa Sutanudjaja, Sandyawan Soemardi, Yuyun Ismawati, Sonny Mumbunan, Jalal, Ari Muhammad, dan Adhito Harinugroho.
Inayah Wahid, salah satu penggugat, mengatakan, polusi udara Jakarta sangat mengkhawatirkan. ”Kami peduli. Karena itu, kami meminta pemerintah benar-benar serius menangani polusi udara yang ada sehingga tidak memakan korban, terutama kelompok masyarakat yang rentan,” ujarnya dalam keterangan pers.
Hal senada juga dikatakan penggugat lainnya Melanie Subono. ”Andai bernapas dengan baik saja sudah tidak menjadi hak kita sebagai manusia, maka sama saja dengan pemerintah membunuh massal masyarakatnya,” katanya.
Sementara itu, Tim Advokasi Ibu Kota Nelson Nikodemus Simamora mengatakan, banyak pelanggaran yang dilakukan pemerintah. Contohnya, uji emisi kendaraan yang tidak dilakukan, tidak diumumkan, dan tidak dievaluasi.
Pemerintah pusat pun tidak membuat panduan bagaimana koordinasi penanganan polusi antarwilayah dilakukan. Bukan rahasia, polusi udara di Jakarta juga merupakan sumbangan polusi wilayah lain, akibat aktivitas industri di Banten dan Jawa Barat, termasuk pembakaran batubara di PLTU.
”Melalui gugatan ini diharapkan pemerintah dapat menerbitkan strategi dan rencana aksi yang jelas soal pengendalian pencemaran udara,” ujarnya.
Selain itu, juga diharapkan pemerintah mempercepat revisi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Berdasarkan data alat pemantau kualitas udara DKI Jakarta, konsentrasi rata-rata tahunan untuk parameter ozone (O3), PM 10 dan PM 2.5 selalu terlampaui sejak awal dipantau. Dalam catatan alat pemantau kualitas udara Kedutaan Amerika Serikat di Januari hingga Oktober 2018, masyarakat Jakarta Pusat menghirup udara ”tidak sehat” selama 206 hari, untuk parameter PM 2.5. Di Jakarta Selatan, total hari dengan kualitas udara yang buruk mencapai 222 hari.
Alat pemantau tersebut mencatat partikel debu halus yang dihirup manusia yakni PM 2,5, di atas 38 µg/m³. Bahkan mencapai 100 µg/m³ di hari-hari tertentu. Padahal, batas aman PM 2,5 yang dihirup manusia merujuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 25 µg/m³.
Arip melanjutkan, fakta lain adalah selama Asian Games 2018, kondisi udara di Jakarta itu buruk. Para penggugat pun meminta pemprov untuk melakukan upaya menanggulangi kondisi udara Jakarta agar lebih baik lagi.
Adapun notifikasi itu diberikan sebagai bagian dari prosedur. ”Kami akan lihat 60 hari ke depan apakah pemprov lakukan perubahan atau tidak. Kalau tuntutan kami dipenuhi, berarti tidak perlu gugatan,” kata Arip.