Parlemen Kamboja Tinjau Larangan Berpolitik bagi Oposisi
Oleh
Elok Dyah Messwati
·3 menit baca
PHNOM PENH, SENIN — Parlemen Kamboja meninjau larangan berpolitik yang sudah berlaku selama lima tahun terhadap lebih dari 100 anggota partai oposisi. Peninjauan ini memungkinkan mereka kembali ke panggung politik Kamboja.
Peninjauan oleh parlemen Kamboja ini terkait akses perdagangan bebas bea Uni Eropa (UE) ke Kamboja. UE bulan lalu memulai prosedur formal untuk menghapus Kamboja dari inisiatif ”Everything but Arms (EBA)” setelah Perdana Menteri Hun Sen kembali berkuasa. Hun Sen memenangi pemilu bulan Juli lalu saat partainya, Partai Rakyat Kamboja (CPP), merebut semua kursi parlemen.
Inisiatif EBA merupakan inisiatif Uni Eropa yang menetapkan semua produk impor dari negara-negara kurang berkembang masuk dalam daftar bebas pajak (duty free) dan bebas kuota (quota-free) kecuali persenjataan. Inisiatif tersebut berlaku mulai 5 Maret 2001.
Kementerian Luar Negeri Kamboja pada Senin (3/12/2018) menyatakan bahwa untuk lebih mempromosikan demokrasi dan aturan hukum, Majelis Nasional sedang meninjau ketentuan hukum agar mereka yang dilarang melakukan aktivitas politik bisa kembali melanjutkan kegiatan politik.
Solusi yang sepotong-sepotong tidak akan dapat memulihkan demokrasi. Peradilan harus independen dan bukan menjadi alat politik.
Peninjauan itu merujuk pada larangan berpolitik oleh Mahkamah Agung Kamboja terhadap 118 anggota partai oposisi, yakni Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP), yang dibubarkan oleh pengadilan Kamboja pada tahun lalu atas permintaan Pemerintah Kamboja. Pemerintaha Hun Sen menuduh CNRP berencana mengambil alih kekuasaan dengan bantuan Amerika Serikat.
Pemimpin CNRP, Kem Sokha, dibebaskan dari penjara pada September lalu setelah mendekam dalam penjara lebih dari satu tahun dengan tuduhan makar. Namun, dia masih berstatus tahanan rumah di Phnom Penh, ibu kota Kamboja.
Wakil Presiden CNRP Mu Sochua menuntut agar Kem Sokha dibebaskan dari semua tuduhan dan CNRP boleh beraktivitas politik kembali. ”Solusi yang sepotong-sepotong tidak akan dapat memulihkan demokrasi. Peradilan harus independen dan bukan menjadi alat politik,” kata Sochua.
Penindasan
Penindasan terhadap partai oposisi CNRP terjadi bersamaan dengan meningkatnya tekanan Hun Sen dan kaki tangannya terhadap media-media independen di Kamboja menjelang pemungutan suara bulan Juli 2018.
Koran berbahasa Inggris, Cambodia Daily, ditutup tahun lalu setelah Pemerintah Kamboja meminta agar perusahaan koran itu membayar pajak jutaan dollar AS atau harus menutup usahanya. Sekitar 30 stasiun radio juga ditutup tahun lalu.
Radio Free Asia (RFA) yang berbasis di Washington, AS, menutup kantornya di Phnom Penh pada September lalu dan mengeluhkan tentang ”tindakan kekerasan tanpa henti terhadap suara-suara independen”. Stasiun-stasiun radio di Kamboja juga dilarang menyiarkan siaran Voice of America (VOA) yang didukung Pemerintah AS.
Namun, dalam pernyataannya pada Senin lalu, Kementerian Luar Negeri Kamboja menyatakan bahwa Pemerintah Kamboja ”selalu menghargai dukungan pada kebebasan pers dan kebebasan berekspresi”. Dinyatakan pula bahwa RFA dan VOA kini bebas untuk membuka kembali kantor mereka di Kamboja.
Juru bicara Kedutaan AS di Kamboja, Emily Zeeberg, Selasa (4/12/2018), mengatakan bahwa Pemerintah Kamboja harus mengizinkan program RFA dan VOA disiarkan secara bebas di stasiun-stasiun radio Kamboja.
Sementara juru bicara RFA, Rohit Mahajan, mengatakan bahwa sebelum RFA mulai kembali beroperasi di Kamboja, ada sejumlah isu yang harus diselesaikan, termasuk tuduhan yang dijatuhkan dua mantan wartawan RFA. (REUTERS)