Lio-lio Terakhir di Bekasi
Lio—pabrik bata—pernah menghidupi ribuan warga Kabupaten Bekasi puluhan tahun silam. Perkembangan zaman dan teknologi memaksa lio bertekuk lutut. Namun, sebagian pekerja lio berkukuh, menolak tersingkir.
Lio—pabrik bata—pernah menghidupi ribuan warga Kabupaten Bekasi puluhan tahun silam. Perkembangan zaman dan teknologi memaksa lio bertekuk lutut. Namun, sebagian pekerja lio berkukuh, menolak tersingkir.
Setelah memarkirkan motornya, Karim (73) berjalan tergesa-gesa ke pabrik bata (lio) miliknya di Desa Ridogalih, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00, Karim terlambat. Tiga perajin bata sudah menunggunya di dalam.
“Bagaimana, jadi tidak?” kata Karim, Minggu (25/11/2018).
“Enggak jadi, Pak. Kurang satu orang,” sahut ketiga perajin bersamaan.
Di lio seluas 5.000 meter persegi itu, hanya mereka berempat yang bercengkrama di balai bambu dekat pintu utama. Tidak ada aktivitas di bagian bangunan yang lain. Belum ada tanah yang dimasukkan ke mesin pencetak bata, ruangan pengeringan pun kosong. Bahkan, di tungku seluas 30 meter persegi yang tingginya mencapai 3 meter itu, tidak ada satupun bata mentah yang siap dibakar.
Lio yang dibangun Karim pada 2012 itu terletak di tengah sawah seluas 1,5 hektare. Terdiri dari empat ruangan, yaitu dua tungku dan tiga los. Ketiga los digunakan untuk mencetak dan mengeringkan bata mentah sebelum dibakar di tungku berkapasitas 70.000 bata.
Lio yang berada di tengah sawah itu mudah menarik perhatian. Bentuknya khas, tidak berlantai dan berdinding. Atapnya disangga kayu berbagai pohon berbentuk limas yang menjulur ke bawah hingga hanya berjarak satu meter dari permukaan tanah. Dengan model atap ini, bata di dalam lio aman dari hujan. Selain itu, asap yang keluar saat pembakaran pun tidak tertahan di dalam ruangan.
Bahan baku pembuatan bata, yaitu tanah, digali dari sawah di sekitarnya. Sebagian lahan terus digali selama kualitas tanah masih cocok untuk membuat bata. Karim mengatakan, agar tetap baik, lahan galian kembali ditanami padi, kemudian penggalian berpindah ke bagian lain.
Karim mengatakan, tahap awal pembuatan bata setidaknya membutuhkan empat pekerja. Mereka harus menggali tanah kemudian membagi tugas untuk memasukkannya ke mesin cetak, memotong, dan menyusun bata mentah untuk dikeringkan. “Kalau kurang dari empat orang, kami enggak bisa mulai kerja,” kata pengusaha asal Tegal Danas, Cikarang Pusat, Bekasi, itu.
Memasuki November, produktivitas lio merosot. Hanya sedikit perajin bersedia bekerja di lio karena sebagian besar memilih menggarap sawah tadah hujan di musim hujan.
Produktivitas lio kian merosot karena bata mentah tidak bisa kering sepenuhnya. Bata mentah yang menyisakan basah akan hancur jika dipaksa dibakar.
Tantangan usaha semakin berat karena tak hanya berpacu dengan alam, tetapi juga bersaing dengan produk lain, salah satunya bata hebel. Produk yang lebih murah itu membuat harga bata jatuh, menjadi Rp 250 per buah. Padahal pada 2010 harga bata pernah mencapai Rp 600 per buah.
Produsen bata hebel juga unggul berkat penggunaan mesin yang mampu memproduksi ribuan bata per hari. Sementara, pembuatan bata di lio mulai dari penggalian tanah hingga pembakaran, bisa mencapai satu bulan. “Sekarang lio susah bersaing dengan bata hebel,” ujar Karim. Keinginan untuk menjual lio pun mulai muncul.
Jatuh bangun
Kegamangan untuk meneruskan usaha pembuatan bata tidak hanya dirasakan Karim, tetapi juga beberapa pengusaha lain di Kecamatan Cibarusah. Di wilayah itu, ada sekitar 20 lio yang tersebar di Desa Ridogalih dan Ridomanah. Mereka masih berusaha bertahan, meski sadar kecil kemungkinan untuk meraih kembali kejayaan.
Sekitar 40 tahun lalu, pembuatan bata merupakan ikon Kabupaten Bekasi. Berdasarkan catatan Kompas, pada 1970-an terdapat lebih dari 3.000 lio yang memproduksi bata dan genteng. Lio itu paling banyak berada di Kecamatan Cikarang dan telah dimiliki penduduk asli selama tiga generasi.
Namun, tidak ada yang tahu pasti asal mula lio di Cikarang. Anthony Reid, dalam buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, mengatakan, di Asia Tenggara bata telah digunakan pada gerbang, menara dan tembok luar Kerajaan Majapahit. Bata pun semakin sering digunakan seiring dengan semakin banyak orang Cina, Asia Barat, dan Eropa yang datang ke pelabuhan-pelabuhan di Asia Tenggara pada abad ke-16.
Kendati demikian, ribuan lio itu menjadi sumber penghasilan masyarakat. Setidaknya, 25.000 pekerja terserap setiap hari. Sebagian merupakan pekerja tetap yang berasal dari Kabupaten Bekasi, sebagian lain pekerja musiman dari Karawang dan Subang, Jawa Barat. Ada juga yang berasal dari Jawa Tengah, yaitu Indramayu, Brebes, dan Pemalang (Kompas, 21/3/1977).
Hasil produksi bata laku keras, baik di Bekasi maupun Jakarta. Meski tidak ada standar baku mutu yang jelas, bata dari Cikarang diklaim tahan seumur hidup. Oleh karena itu, setiap selesai produksi, tak pernah ada sisa bata di lio.
Karim mengatakan, tanah di Cikarang memenuhi seluruh persyaratan untuk membuat bata berkualitas. Mulai dari warnanya yang merah hingga kandungan zat yang membuatnya liat, tidak mudah hancur. Sebelum memulai usaha di Cibarusah, ia pun memiliki lio di Cikarang. Namun, usahanya kandas karena penggusuran.
Pada akhir 1970, pemerintah mewacanakan pembangunan Cikarang sebagai kawasan industri. Wilayah itu diharapkan menjadi tandingan Jakarta untuk mengatasi persoalan ledakan penduduk. Memasuki 1990-an, wacana itu mulai diwujudkan. Rumah, sawah, bahkan lio masuk dalam areal yang digusur untuk membangun pabrik-pabrik besar.
Dari ribuan lio yang bertahan lebih dari dua abad, pada 1992 tersisa 500 lio. Harga bata pun jatuh dari Rp 80 per buah menjadi Rp 50 per buah.
Bupati Bekasi periode 1983-1993, Suko Martono, beritikad agar penggusuran tersebut tidak menghilangkan pekerjaan warga. Ia berjanji memberikan pelatihan khusus bagi perajin bata agar bisa bekerja di kawasan industri. Selain itu, pemilik lio diperkenankan membuka usahanya kembali di daerah-daerah yang tidak masuk kawasan industri (Kompas, 6/1/1990).
Akan tetapi, jejak perajin bata yang diserap industri besar tidak terlacak. Sebagian tetap bergulat pada pembuatan bata dan pertanian di wilayah lain.
Selain karena digusur, pergeseran lokasi lio juga dilakukan karena tanah yang bisa diolah sudah habis tergali. Mereka bergeser dari kampung Kandang Roda dan Cibatu di Kecamatan Cikarang menuju kampung Cibenda dan Cilangkara di Kecamatan Serang Baru. Lokasi perpindahan terakhir adalah Kecamatan Cibarusah, di antaranya di Desa Ridomanah dan Ridogalih.
Ahmad Fauzi (48), warga Kampung Tempuran, Desa Ridomanah, Cibarusah, bekerja di lio Kandang Roda, Cikarang, pada 1995. Akhir 1996, ia meninggalkan pekerjaannya karena pemilik lio tak lagi bisa membayar pekerja. Berbekal pengetahuan dan keterampilan saat bekerja di Cikarang, lulusan sekolah dasar itu memanfaatkan sawah warisan mertua untuk membangun lio.
Namun, pengetahuan dan keterampilan yang terbatas membuat upayanya tidak berjalan mulus. Selama lima tahun, ia berusaha mengenali jenis tanah, teknik pengeringan, dan pembakaran yang tepat sendirian. Setelah itu, bata produksinya baru bisa dijual dan menghasilkan keuntungan. “Sepanjang 2000- 2005, saya mencoba berbagai cara untuk memproduksi bata yang bisa dijual,” ujar Ahmad.
Nilai lebih
Bagi Ahmad, lio bukan hanya tempat untuk menyambung hidup melainkan juga mampu mengangkat derajat sosial. Pada 2010, produksi bata selama beberapa bulan bisa ditukar dengan bahan bangunan seharga Rp 200 juta untuk membangun rumah. Saat itu, harga bata mencapai Rp 600 per buah.
Ia pun mampu membangun toko barang kelontong, sayuran, dan pupuk, yang dikelola istrinya. “Paling membahagiakan, saya bisa menyekolahkan anak hingga lulus kuliah,” kata bapak tiga anak itu.
Ahmad juga belajar strategi bisnis yang mampu membuat usahanya berjalan hingga 18 tahun. Upaya yang jarang bisa dilakukan pemilik lio setelah masa kejayaannya tenggelam. “Kuncinya, saya tidak pakai uang pinjaman dari orang lain,” ujarnya.
Ia menambahkan, investasi dari pihak lain memang membesarkan usaha. Tetapi, orientasi usaha tertuju pada pencarian keuntungan, karena dituntut melunasi pinjaman. Sementara, corak usaha lio melampaui urusan ekonomi semata.
“Saya tidak pernah membuat target untuk para perajin mengenai berapa bata yang harus dihasilkan,” kata Ahmad. Meski perajin dibayar sesuai jumlah bata yang dibuat, mereka diberikan kewenangan untuk menentukan frekuensi kerja sesuai kebutuhan dan kemampuan.
Ijam (45), perajin bata yang sudah 10 tahun bekerja di lio milik Karim di Desa Ridogalih, mengatakan, keluwesan menentukan waktu dan beban kerja dalam membuat bata belum pernah ia temukan pada pekerjaan jenis lain. Perajin memiliki banyak waktu untuk berinteraksi sehingga ikatan sosial di antara mereka semakin kuat.
Interaksi dan ikatan di antara mereka rupanya menghasilkan budaya di komunitas kecil itu. Konsep hari dalam kerja, misalnya. Mereka bekerja enam hari dalam seminggu, Sabtu-Kamis. Libur berlangsung pada Jumat, karena hari itu perajin harus melaksanakan salat jumat dan tidak boleh diganggu pekerjaan.
Selain itu, para perajin juga menciptakan istilah-istilah khas terkait pekerjaan mereka. Contohnya, ngulet (menggali tanah lalu meliatkannya sebelum dimasukkan ke mesin pencetak bata); nyitak (mencetak bata); ngeleng (menyusun bata mentah untuk dikeringkan); ngunjal (membawa bata mentah yang sudah kering dari los menuju tungku); ngentep (menyusun bata mentah ke dalam tungku); dan ngopen (membakar bata mentah di dalam tungku).
“Saya berharap, lio tidak akan pernah tutup apalagi punah,” kata Kubil (36), perajin bata dari Desa Ridogalih. Menurut dia, usaha di lio membuka kesempatan bagi warga desa yang kompetensinya terbatas. Di Cibarusah, misalnya, kebanyakan warga adalah lulusan sekolah dasar.
Keberadaan usaha pembuatan bata juga bisa menjadi alternatif pekerjaan bagi sejumlah angkatan kerja yang masih menganggur. Apalagi jumlah pengangguran di seluruh Kabupaten Bekasi terus bertambah selama empat tahun terakhir.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran meningkat sejak 2014-2017. Pada 2014, jumlah pengangguran 94.436 orang; meningkat menjadi 149.859 orang pada 2015; dan pada 2017, menjadi 172.412 orang.
Sayang, belum ada rencana penguatan usaha lio dari Pemerintah Kabupaten Bekasi. Di tengah persaingan dengan industri besar, hidup dan mati usaha rakyat yang masih dikerjakan secara tradisional itu diserahkan pada mekanisme pasar.
Meski demikian, semangat masyarakat untuk memertahankan usaha itu masih ada. Seperti Karim, yang terus meninggikan harga tanah saat banyak orang menawar untuk membeli lio dan sawahnya. “Sengaja, saya kasih harga yang jauh lebih tinggi, biar enggak ada yang beli lio ini,” kata dia sambil tertawa kecil.