JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pengecekan ulang luas sawah diambil dalam rapat koordinasi nasional yang digelar Kementerian Pertanian di Jakarta, Jumat (30/11/2018). Permintaan pengecekan ulang itu terkait dengan data penyusutan 645.855 hektar luas baku sawah yang sebelumnya disampaikan pemerintah seusai rapat terbatas yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla, Senin (22/10/2018).
Luas sawah merupakan salah satu poin yang diteliti oleh pemerintah terkait dengan data pertanian selain konsumsi beras per kapita dan proyeksi produksi beras tahun ini. Penelitian melibatkan sejumlah lembaga dan kementerian, yakni Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Informasi Geospasial (BIG), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Sumarjo Gatot Irianto saat dihubungi, Minggu (2/12/2018), mengatakan, perubahan luas lahan baku sawah akan berdampak terhadap anggaran subsidi pupuk dan benih. ”Penetapan alokasinya (subsidi) berdasarkan luas sawah, intensitas tanam per tahun, dan penggunaan alokasi tahun sebelumnya,” ujarnya.
Selain Gatot, permintaan pengecekan ulang luas lahan disampaikan Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Pending Dadih Permana dalam rapat koordinasi tersebut. Rapat dihadiri perwakilan dinas pertanian provinsi.
Pengecekan ulang dilakukan dengan memotret sawah yang disebut tidak ada dalam data Kementerian ATR/BPN. Foto sawah dilaporkan kepada Kementan paling lambat 10 Desember 2018. Menurut Gatot, laporan pengecekan ulang itu akan disampaikan kepada Kementerian ATR/BPN.
Pengecekan dilakukan di daerah yang perubahannya dinilai signifikan, misalnya dari ribuan hektar menjadi puluhan hektar. ”Kami tidak ingin mengacu pada perubahan data yang tidak logis. Jadi, baik penambahan maupun pengurangan lahan yang signifikan harus dicek ulang,” ujarnya.
Sebelumnya, Pending menyatakan, data Kementerian ATR/BPN tidak dapat dibandingkan secara setara dengan data milik Kementan. ”Kami tidak mempertimbangkan aspek legalitas. Selama sawah itu berproduksi, kami hitung sebagai lahan baku,” kata Pending.
Secara terpisah, Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Tata Ruang, dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Kementerian ATR/BPN Suyus Windayana mengatakan, data luas lahan baku sawah 2018 bersumber dari BIG yang menggunakan citra satelit dari Lapan beresolusi minimal 1:10.000.
Pihaknya telah memvalidasi data itu bersama organisasi perangkat daerah yang terdiri dari organisasi perangkat daerah seperti dinas pekerjaan umum dan perumahan rakyat, dinas pertanian, badan perencanaan pembangunan daerah, dan BPS setempat.
Bukan wewenang
Pengamat ekonomi pertanian Khudori berpendapat, permintaan pengecekan ulang di daerah bukan wewenang Kementan. Seharusnya Kementerian ATR/BPN yang melakukan validasi dan verifikasi langsung hingga tingkat kecamatan dan desa. Jika pengecekan dilakukan oleh Kementan, dia khawatir akan muncul data tandingan.
Menurut dia, data luas sawah saat ini sudah valid sebagai patokan nasional karena telah melalui serangkaian uji coba dan diskusi yang bersifat ilmiah. Data yang sama juga menjadi dasar BPS dalam menghitung produksi beras nasional.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyarankan pemerintah fokus dalam mendayagunakan lahan baku sawah saat ini. Selain itu, pemerintah perlu mempertahankan lahan sawah yang ada.
Jika ada pengecekan ulang, penambahan lahan baku sawah sebanyak 124.445 hektar di Pulau Jawa (berdasarkan data Kementerian ATR/BPN) adalah yang hal perlu verifikasi dan validasi ulang. ”Penambahan luas lahan di Jawa itu perlu ditelusuri apakah pada tahun-tahun sebelumnya tercatat sebagai sawah atau tidak,” katanya.