Wajah Baru Kawah Kelud
Tiba di bibir kawah Gunung Kelud di perbatasan Kediri, Malang, dan Blitar, Jawa Timur, Agustus 2018, memori kembali ke empat tahun lalu. Waktu itu, kubah lava “angkuh” diikuti rentetan peningkatan aktivitas vulkanik, hingga akhirnya erupsi 13 Februari 2014 yang melumpuhkan sebagian Pulau Jawa.
Jantung berdetak kencang saat menyusuri jalanan berkelok dan menanjak yang sebagian masih kerikil. Tebing tinggi di depan -pada ketinggian 1.731 meter dari permukaan laut- menunda jawaban, seperti apa wajah kawah Kelud sekarang?
Terbersit lega saat melihat pintu Terowongan Ganesha yang mengarah ke kawah. Bangunan sepanjang 125 meter yang ada sejak masa kolonial itu hanya sedikit rusak, tertimbun material. Setelah erupsi, selain dibersihkan, panjang terowongan ditambah sekitar sepuluh meter.
Begitu keluar dari terowongan, membentang kawah Kelud dikelilingi tebing tinggi. Bagian dasar kawah terisi air kekuningan. Di bawah terik matahari dan angin kencang, suasana lengang. Beberapa wisatawan bandel -mengabaikan larangan masuk dikarenakan kondisi masih labil- tampak di kejauhan tengah menyusuri tepian kawah.
Pekikan dua ekor elang di atas tebing Sumbing (tebing sisi selatan yang menonjol ke atas) memecah kesunyian. “Elangnya masih banyak. Mereka bersarang di puncak tebing. Kami tidak tahu apa jenisnya,” ucap Ansori (34), warga Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, penyedia jasa ojek sekaligus menjadi pemandu wisata.
Dua tahun ini kaldera Kelud terisi air. Diameter danau yang terisi air sekitar 500 meter. Selama kemarau ketinggian permukaan air sudah surut sekitar lima meter dari ketinggian air saat musim hujan lalu. Menurut Ansori dan warga lain, air dari kawah mengalir turun ke Kali Bladak melalui sudetan.
Data Pos Pantau Gunung Kelud di Desa Sugihwaras menyatakan, suhu pertengahan Agustus lalu 31-32 derajat celsius dengan tingkat keasaman 5,4-5,5. Medio Mei 2017, temperatur air mencapai 49-50 derajat celsius dengan tingkat keasaman 5.7. Air di danau kawah itu juga mengandung gas, seperti belerang.
Kepala Subdirektorat Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kristianto, saat dihubungi sedang berada di Danau Toba, Sumatera Utara, mengatakan, air yang mengisi kaldera Kelud berasal dari hujan dan mata air. Status Kelud aktif normal.
“Sudah lama kawah Kelud terisi air. Habis letusan tahun 1990 juga seperti itu, Setelah meletus kawah kembali terisi air. Baru setelah letusan 2007 muncul kubah lava yang kemudian kubah itu terbongkar oleh letusan 2014. Sekarang kembali lagi seperti kondisi masa lalunya, kawahnya terisi air,” ujarnya.
Antisipasi bahaya
Menurut Kristanto, mengantisipasi bahaya saat erupsi, air di danau kawah Kelud dikeluarkan melalui sudetan. Saat ini masih dilakukan normalisasi sudetan.
Sebelum erupsi 2007, berdasar catatan PVMBG, danau kawah di Kelud memiliki volume sekitar 2,5 juta meter kubik. Pascaerupsi, seiring munculnya kubah lava saat itu, volume air danau diperkirakan tersisa lima persen. Sebanyak 95 persen lainnya telah tertutup kubah lava.
Sejarah aktivitas Kelud sendiri tercatat sejak tahun 1.000 hingga abad ke-20. Adapun letusan tahun 1586 paling banyak menimbulkan korban jiwa, yakni 10.000 orang. Selama abad ke-20 hingga saat ini terjadi tujuh kali letusan, yakni 1901, 1919, 1951, 1966, 1990, 2007, dan 2014. Selama itu pula, letusan gunung tempat bersemayam Hyang Acalapati (Dewa Gunung), merenggut 5.435 jiwa.
Di luar soal kawah, wajah puncak Kelud berubah dibanding empat tahun lalu. Tak terlihat lagi tebing dan lembah abu-abu dengan pepohonan arang, karena terbakar. Tebing mulai kehijauan, ditumbuhi lumut dan perdu.
Jalan menuju kawah sudah bersih dari pasir dan material vulkanik. Namun, untuk bagian dekat kawah masih belum diperbaiki.
Usai batas terakhir kendaraan (pagar kawat), badan jalan belum diaspal (masih kerikil). Namun, bahu jalan sudah diberi pengaman berupa turap beton lengkap saluran air permanen.
Fasilitas wisata di sekitar kawah -ada sebelum erupsi 2014- yang sudah dibangun apik oleh Pemerintah Kabupaten Kediri, lenyap akibat letusan. Pemandian dan kolam air hangat yang dulu sudah ditata bagus lengkap dengan 600-an anak tangga dan tempat parkir, kini masih berupa lembah hulu kali dan belum tersentuh tangan renovasi.
Beberapa spot menarik yang masih mudah diingat, salah satunya adalah jalan “misteri” yang berada sekitar lima kilometer dari gerbang pintu masuk Kelud di Desa Sugihwaras. Banyak pengunjung meyakini di tempat itu terdapat magnet (mirip Jabal Magnet di Madinah, Arab Saudi) yang membuat kendaraan roda dua maupun empat bisa berjalan menanjak dalam kondisi mesin mati. Meski begitu, kebenaran fenomena tersebut masih diperdebatkan.
Pemerintah Kabupaten Kediri juga gencar mengembangkan fasilitas wisata Kelud, lantaran satu-satunya akses kendaraan hanya melalui wilayah Kediri. Pengembangan fasilitas wisata cukup masif dilakukan di sisi bawah (dekat pintu masuk kawasan wisata Gunung Kelud) hingga mengoptimalkan peran masyarakat di desa penyangga.
Sejumlah tempat wisata keluarga pun muncul, seperti kampung durian, petik nanas, wisata menunggang kuda, hingga lokasi peristirahatan (rest area), dan taman wisata yang dilengkapi tempat kuliner. Sejumlah agenda wisata juga diselenggarakan, mulai dari lari Kelud Marathon hingga event budaya.
Ada juga upaya menghidupkan kembali aktivitas panjat tebing di Tebing Sumbing. Wisata olahraga minat khusus ini potensial dikembangkan.
“Kelud merupakan destinasi wisata utama di Kabupaten Kediri dan masuk unggulan destinasi wisata di Jawa Timur. Pengembangan wisata di Kelud tetap dilakukan dan tentunya sesuai khaidah dan aturan yang ditetapkan oleh PVMBG dan pihak terkait,” kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kabupaten Kabupaten Kediri Ady Suwignyo.