Hampir delapan tahun kota Sendai di Prefektur Miyagi, Jepang, luluh lantak dihancurkan gempa dan tsunami. Tepatnya pada 11 Maret 2011. Lebih dari 20.000 orang meninggal dan bangunan hancur menjadi puing-puing. Kini, Sendai kembali bangkit. Kota di Jepang bagian utara itu kembali menampakkan kecantikannya.
Rombongan jurnalis asal Indonesia, yang diundang oleh Ministry of Foreign Affairs (MOFA) atau Kementerian Luar Negeri Jepang bekerja sama dengan Japan of International Cooperation (JICE), tiba di Sendai pada Kamis (29/11/2018) dan akan meninggalkan Sendai pada Minggu (2/12/2018).
Rombongan jurnalis yang tergabung dalam program Jenesys 2018 tersebut tiba di Sendai dengan mengendarai kereta ultracepat Shinkansen dari Stasiun Tokyo. Rombongan naik kereta Hayabusa menuju Sendai. Dengan kecepatan 320 kilometer per jam (km/jam) tersebut, perjalanan sejauh 351 km ditempuh hanya dalam waktu 1,5 jam.
Kami melangkah keluar Stasiun Sendai setelah makan siang di sebuah restoran bawah tanah. Di Jepang, bawah tanah memang lebih banyak dimanfaatkan untuk stasiun, mal, dan restoran. Suhu sore itu sekitar 8 derajat celsius. Lebih dingin jika dibandingkan dengan Tokyo yang saat itu masih sekitar 14 derajat celsius.
Dengan berjalan kaki, ditemani Kato Azu dari perwakilan JICE serta Yuki Shigematsu, penerjemah, kami menuju hotel yang letaknya hanya 10 menit dari Stasiun Sendai. Kami menginap di Hotel Greenchain. Lokasinya tidak terlalu jauh dari shopping arcade Aoba Sendai dan pusat perbelanjaan murah seperti AEON dan Don Quijote.
Di Sendai, kami diajak menikmati kota. Jika penduduk Tokyo 13 juta orang, maka penduduk di Sendai sekitar 1 juta orang. Meski berbeda dari jumlah penduduk, tetapi secara umum Sendai memiliki tipikal sama dengan Tokyo. Kota dengan bangunan modern, trotoar selebar 8 meter hingga 10 meter yang dilengkapi penanda jalan untuk orang buta, jalan raya memiliki 5-6 lajur, dan tentu saja suhu udara dingin karena Jepang sudah memasuki musim dingin.
Meski suhu cukup dingin, tetap saja ada orang-orang yang berjalan kaki saat dini hari. Orang Jepang memang sangat terbiasa jalan kaki dan antre. Tidak ada ceritanya orang Jepang bergerombol masuk kereta, lift, atau naik tangga. Mereka memilih berjajar rapi di sebelah kiri hingga orang di depannya naik terlebih dahulu.
Berbeda
Kondisi Sendai sekarang sangat jauh berbeda dari tujuh tahun lalu, tepatnya saat tsunami menerjang pada 11 Maret 2011. Dari berbagai foto dan kesaksian, kecantikan kota Sendai menghilang. Berganti puing, isak tangis, dan kesedihan.
”Saat itu semuanya rusak. Rumah-rumah hancur. Rumah saya juga turut rusak. Namun, kini semuanya terus membaik,” kata Takayama Tomoyuki, seorang warga Distrik Arahama Sendai yang menyambut kami saat kami mengunjungi sebuah sekolah dasar (SD) Arahama.
SD Arahama saat ini menjadi museum pengingat tsunami 2011. Pada saat itu, SD yang berjarak 700 meter dari Samudra Pasifik itu menjadi tempat berlindung bagi 300-an siswa dan warga setempat saat tsunami menerjang.
Kini, SD Arahama dijadikan museum dan menjadi pengingat warga dan siapa saja yang ingin mengingat dahsyatnya bencana tsunami. Tidak jauh dari SD, tempak tanggul setinggi 7,2 meter berdiri kokoh seakan membendung empasan gelombang Samudra Pasifik. Tanggul tersebut menjadi salah satu mitigasi bencana tsunami yang dibangun oleh Pemerintah Kota Sendai.
Selain sebagai penahan gelombang laut, tanggul tersebut juga menjadi salah satu spot menikmati keindahan Samudra Pasifik secara langsung. Sore hari, pengunjung bisa menikmati pemandangan mentari tenggelam dari atas tanggul. Sangat indah.
Salah satu keindahan lain yang dengan mudah ditemui di Sendai pada awal musim dingin ini adalah warna-warni dedaunan. Ada daun momiji yang menguning hingga merah, daun ginko yang menguning, dan pepohonan pinus yang menghijau.
Keindahan paling lengkap akan kita temui di beberapa kuil di Sendai, salah satunya adalah Sendai Castle. Dari sana, pengunjung kuil selain melihat patung leluhur pendiri kota Sendai, yaitu Date Masamune, serta melihat pemandangan kota Sendai pada siang hari.