Korupsi Tradisi Indonesia?
Kebiasaan praktik upeti yang dilakukan di sejumlah kerajaan Nusantara hingga gratifikasi pejabat VOC Belanda menjadi tanah yang subur bagi akar-akar korupsi untuk dapat masuk begitu dalam hingga Indonesia masa kini.
Penguatan sistem kontrol sosial dan penegakan hukum menjadi langkah yang harus didorong sebagai upaya perang terhadap kejahatan luar biasa yang sudah merajalela tersebut. Perang melawan korupsi harus menjadi platform bersama pemerintah dan pihak oposisi.
Berdasarkan catatan Litbang Kompas, lebih dari seratus kepala daerah (95 wali kota/bupati/wakil bupati dan 20 gubernur) telah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama 2018. Di sisi lain, pejabat tinggi pada lima dari tujuh lembaga tinggi negara pun telah tersangkut korupsi. Lembaga tersebut adalah DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, Sabtu (1/12/2018) di Jakarta, mengatakan, permulaan praktik korupsi diperkirakan bermula dari masa prakolonial, khususnya melalui kebiasaan masyarakat memberikan upeti kepada pemimpin masyarakat, baik di level lokal maupun raja dan sultan. Upeti diberikan sebagai bukti kesetiaan, sekaligus upaya mendapatkan privilese dari pemimpin tersebut.
Bondan meyakini, hal tersebut menjadi ”embrio” dari praktik-praktik korup untuk mendapatkan suatu kebijakan, kemudahan, dan bahkan jabatan yang marak terjadi saat ini.
Upeti menjadi ”embrio” dari praktik-praktik korup untuk mendapatkan suatu kebijakan, kemudahan, dan bahkan jabatan yang marak terjadi saat ini.
Penyalahgunaan wewenang semacam itu pun merebak di masa kekuasaan Maskapai Dagang Hindia Timur atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Bondan menyebutkan, pejabat VOC di sejumlah daerah berhasil memperkaya diri sendiri. Korupsi yang meluas dan sistemik itu bahkan menjadi penyebab kehancuran perusahaan dagang tersebut.
Pengambilalihan operasi VOC oleh pemerintah Kerajaan Belanda pun tidak menghentikan budaya korupsi. Pembukaan jabatan-jabatan dalam birokrasi kolonial kepada penduduk non-keturunan Belanda malah memunculkan praktik jual beli jabatan.
Para pemimpin lokal yang telah digaji oleh pemerintahan kolonial Belanda pun tetap melaksanakan wewenang tradisionalnya untuk mengerahkan berbagai upaya yang dapat memperkaya diri sendiri, seperti kerja paksa.
”Pengalaman kita dengan korupsi sudah panjang, sudah berabad-abad. Dan, selama ini, ternyata hanya pengulangan dengan konteks dan orang yang berbeda,” kata Bondan dalam diskusi Perspektif Indonesia yang diselenggarakan Smart FM Network. Selain Bondan, juga hadir politisi PDI-P Andreas Pareira dan politisi Partai Gerindra Sudirman Said.
Presiden Soeharto, lanjut Bondan, di awal masa pemerintahannya sebetulnya telah menyatakan akan memimpin langsung upaya pemberantasan korupsi. ”Akan tetapi, malah masa pemerintahannya berakhir akibat korupsi, kolusi, dan nepotisme,” ucapnya.
Bondan mengatakan, hal yang membedakan periode saat ini dengan masa lalu adalah adanya lembaga yang khusus bertujuan untuk memberantas korupsi. ”Dulu belum ada KPK,” ujarnya.
Perkuat KPK
Fungsi lembaga pemberantasan korupsi harus diperkuat untuk dapat efektif memberantas korupsi. Andreas dan Sudirman pun setuju bahwa posisi KPK harus diperkuat dan difokuskan untuk memberantas korupsi di lembaga-lembaga penegak hukum.
”KPK perlu diperkuat, diberi anggaran yang lebih baik, jumlah personel yang lebih kuat, dan meningkatkan kewenangan KPK, termasuk penggunaan penyidik independen,” kata Sudirman.
Ia menambahkan, faktor kepemimpinan negara menjadi hal yang penting dalam membentuk iklim antikorupsi di Indonesia. ”Kepemimpinan baru bisa memunculkan berbagai lapis pemimpin baru di berbagai lini di Indonesia,” kata Sudirman.
Pareira mengingatkan, upaya pemberantasan korupsi tidak bisa menjadi dagangan isu politik saja. Upaya perlawanan terhadap korupsi harus dibentuk menjadi sebuah gerakan masyarakat secara bersama.
”Saya sungkan juga menyebut korupsi sudah membudaya, tetapi faktanya begitu. Untuk melawannya harus menjadi gerakan, bukan sekadar isu politik, hanya akan menjadi omongan-omongan saja,” ucapnya.
Upaya penghentian siklus reproduksi koruptor ini, kata Pareira, juga harus menyangkut proses produksi politisi di Indonesia. Menurut dia, sistem pemilu proporsional terbuka ini mengakibatkan persaingan yang sangat individualistik.
Sifat individualistik ini terlihat pada fakta bahwa calon anggota legislatif (caleg) dari satu partai juga bersaing selain dengan calon dari partai lain. Proses ini menjadi erat kaitannya dengan kemampuan finansial pribadi setiap caleg. ”Ini menjadi pertarungan antar-kekuatan kapital. Jabatan menjadi berbiaya tinggi,” kata Pareira.
Sudirman pun meyakini hal yang sama. Politik berbiaya tinggi menjadi salah satu penyebab maraknya praktik korupsi. Menurut dia, permasalahan ini juga dapat diatasi dengan solusi pembiayaan partai politik oleh negara. Ia berpendapat, negara dapat menyisihkan 1 persen dari APBN untuk membiayai partai politik.
”Selain mengurangi biaya politik, hal ini dapat membangun transparansi partai politik karena, dengan demikian, dana tersebut harus diaudit dan akan menjadi transparan,” ujarnya.