JAKARTA, KOMPAS - Tumpang tindih regulasi dan regulasi yang berlebih, hingga mencapai 42.000, menurut catatan pemerintah hingga April 2015, membuat kebutuhan untuk melakukan deregulasi mendesak. Keberadaan lembaga tunggal yang bertugas mengusulkan dan menangani draf regulasi, mampu mengharmonisasi regulasi dari tingkat pusat hingga daerah, serta memudahkan proses legislasi di parlemen diusulkan.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang hadir sebagai pembicara kunci dalam Seminar Nasional Reformasi Hukum bertema ”Menuju Peraturan Perundang-undangan yang Efektif dan Efisien”, Rabu (28/11/2018), di Jakarta mengutarakan persoalan tersebut. Ia menyebutkan banyaknya peraturan membuat Indonesia tak bisa berlari kencang, terutama di bidang ekonomi.
”Indonesia dapat dikatakan sedang mengalami obesitas regulasi dan ini benar-benar menjadi problem serius bagi bangsa kita,” ujarnya.
Sejauh ini terdapat sekitar 42.000 aturan di Indonesia. Aturan-aturan ini mencakup undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, dan peraturan daerah, baik di provinsi, kabupaten, maupun kota.
Banyaknya regulasi kerap menimbulkan masalah, bukan menciptakan keteraturan dan ketaatan hukum. Hal ini terbukti dengan banyaknya aturan yang diuji ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Menteri Dalam Negeri, saat masih memiliki kewenangan membatalkan perda, pun sudah membatalkan ribuan perda.
Penyusunan aturan perundang-undangan juga dinilai kompleks dan berbelit-belit. Obesitas regulasi ini, lanjut Pramono, membuat Indonesia menduduki peringkat rendah dalam penilaian dunia internasional. Dalam indeks kualitas peraturan atau regulatory quality index yang dikeluarkan Bank Dunia pada 2016, Indonesia hanya berada di posisi ke-93 dari 193 negara. ”Peringkat ini lebih rendah dibandingkan beberapa negara ASEAN lain,” katanya.
Terkait hal ini, wacana pembentukan institusi tunggal pembentuk regulasi dilontarkan. Lembaga ini akan mengoordinasikan semua kementerian/lembaga dalam menyusun aturan perundang-undangan.
Seminar kemarin dihadiri Menteri Legislasi Pemerintah Korea Selatan Kim Oe-sook serta lima narasumber diskusi, yakni mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva, Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR M Sarmuji, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Diani Sadia Wati, serta Asisten Deputi Materi Hukum Kemenko Polhukam Heni Susila Wardoyo.
Kelima pembicara menyepakati perlunya satu lembaga legislasi pemerintah guna mengatasi tumpang tindih regulasi serta untuk membuat parameter mengenai regulasi mana yang penting bagi kepentingan masyarakat. Dengan adanya satu lembaga legislasi itu, jumlah regulasi bisa dibatasi. Juga akan ada penilaian yang jelas dari satu otoritas untuk menilai perlu-tidaknya suatu regulasi dibentuk. Selain itu, lembaga tersebut berwenang untuk menjaga harmonisasi regulasi secara vertikal (dari pusat ke daerah) atau horizontal (sesama lembaga atau kementerian).
”Obesitas regulasi atau overregulated bisa dipahami membuat Presiden sulit bergerak,” kata Hamdan.
Ia mengusulkan lembaga legislasi itu dinamai Pusat Legislasi Pemerintah. Lembaga ini sebaiknya juga berwenang merekomendasikan, mencabut, atau mengubah draf peraturan perundang-undangan.