Rusia Kirim Sistem Rudal S-400 ke Semenanjung Crimea
Oleh
Kris Mada
·2 menit baca
MOSKWA, RABU -- Rusia mengumumkan rencana mengirim sistem pertahanan udara S-400 ke Semenanjung Crimea. Rencana itu diungkap setelah Ukraina menetapkan status darurat militer sebagai reaksi atas penyitaan kapal perangnya oleh Rusia di Selat Kerch, kawasan Semenanjung Crimea.
Dalam pengumuman pada Rabu (28/11/2018), Kementerian Pertahanan Rusia menyebut, sistem rudal itu akan beroperasi di Semenanjung Crimea paling lambat akhir tahun 2018 ini. Tidak ada perincian lebih lanjut atas rencana itu.
Rusia menganeksasi Semenanjung Crimea dari Ukraina pada 2014. Sejak itu, hubungan Kiev-Moskwa terus menegang. Akhir pekan lalu, ketegangan bertambah setelah Rusia menghambat, lalu menduduki 3 kapal perang Ukraina di Laut Hitam. Seluruh awaknya ditawan Rusia. Kapal-kapal itu sedianya akan berlayar dari Laut Hitam menuju Laut Azov. Pengadangan dan pendudukan kapal terjadi di Selat Kerch yang menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Azov.
Sistem rudal S-400 merupakan perangkat pertahanan udara paling mutakhir yang dibuat Rusia. Sejumlah pihak menyebut S-400 lebih canggih dari sistem pertahanan udara buatan Amerika Serikat, Patriot. Para pembeli S-400 diancam AS dan sekutu-sekutunya agar membatalkan belanja S-400.
Rusia, seperti dilaporkan media daring Rusia Beyond, mengklaim S-400 bisa mendeteksi sasaran dari jarak 600 kilometer. Target bisa dijatuhkan pada jarak 400 kilometer bila sasarannya pesawat tempur, dan 60 kilometer bila targetnya rudal balistik.
Sistem itu dilengkapi radar multifungsi, penjejak mandiri, rudal anti serangan udara, dan mobil pengangkut yang membuat rudalnya bisa diluncurkan dari mana saja. S-400 dilengkapi empat jenis rudal yang siap diluncurkan tergantung targetnya. Rudal-rudal S-400 diklaim bisa melaju hingga 14 kali kecepatan suara atau lebih dari 17.000 kilometer per jam.
Sanksi baru
Ketegangan terbaru Rusia-Ukraina membuat Eropa dan AS mempertimbangkan sanksi baru terhadap Moskwa. Kanselir Jerman Angela Merkel dan Kepala Komite Luar Negeri Parlemen Federal Jerman, Norbert Roettgen, sudah menyuarakan sanksi itu. Roettgen mendesak Uni Eropa mengetatkan sanksi terhadap Rusia.
Menteri Luar Negeri Austria Karin Kneissl menyatakan, EU mempertimbangkan sanksi itu. Polandia dan Estonia juga mendukung sanksi tambahan bagi Moskwa.
Wakil Menteri Luar Negeri Polandia Bartosz Cichocki mengatakan, insiden di Selat Kerch menunjukkan Barat harus bersatu menghadapi Rusia. “Rusia tetap yakin barat tidak bersatu. Energi dan pertahanan adalah dua hal terpisah,” ujarnya.
Sejumlah anggota UE memang tergantung pada pasokan gas dari Rusia. Bahkan, Jerman mendukung proyek Nord Stream 2 yang akan menambah kapasitas pasokan gas dari Rusia ke Eropa. AS meminta dukungan pada proyek itu ditinjau ulang. Sebab, dukungan itu malah membantu Rusia.
AS juga mendesak UE menjatuhkan sanksi pada Rusia. “Pemerintah AS bersikap jelas, mendukung Ukraina. Kami berharap negara lain bersikap sama,” kata Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Heather Nauert.
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Alexander Grushko mengatakan, sanksi tidak akan menyelesaikan masalah. Ia juga mengingatkan insiden itu terjadi atas provokasi Kiev.
Badan keamanan Rusia, FSB, menyiarkan video yang menunjukkan para awak kapal perang Ukraina mengabaikan perintah berhenti berlayar. Pengabaian itu berujung pada pendudukan kapal-kapal perang tersebut, dan seluruh awaknya ditawan.
FSB menyebut insiden itu direncanakan oleh Kiev. Tudingan itu antara lain didasarkan pada dugaan dua petugas badan intelijen Ukraina, SBU, ada di salah satu kapal. Kepala SBU Vasyl Hrytsak tidak menampik, ada agennya di kapal itu. Mereka dinyatakan memberikan dukungan pada Angkatan Laut Ukraina. Salah satu agen SBU dinyatakan terluka oleh tembakan dari kapal Rusia.