Persoalan Ketimpangan Seharusnya Dapat Porsi Besar di G-20
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok organisasi masyarakat sipil Indonesia mendesak agar isu global saat ini yang meliputi perang dagang dan kecenderungan proteksionisme dapat dijadikan sebagai momentum untuk memperkuat fungsi pertemuan multilateral kelompok 20 ekonomi utama atau G-20.
Hingga sekarang, dampak forum G-20 yang dibentuk sejak 1999 itu dinilai kurang signifikan. Padahal, forum multilateral itu seharusnya bisa digunakan untuk memperjuangkan kepentingan nasional dan global. Masalah ketimpangan sosial, korupsi, penghindaran pajak, penggunaan energi terbarukan, dan penanganan perubahan iklim masih menjadi sorotan utama sejumlah kelompok masyarakat sipil.
”Forum multilateral menemukan urgensinya dalam kondisi global saat ini, terutama dalam rangka mengatasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Indonesia dapat meningkatkan perannya dengan mendorong agar persoalan besar seperti ketimpangan bisa ditangani bersama negara lain,” ujar Hamong Santono, Senior Officer International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Hadir dalam acara itu sejumlah perwakilan dari Forum Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Luar Negeri Indonesia (Indonesia Civil Society Forum on Foreign Policy/ICFP), yakni Publish What You Pay Indonesia (PWYP), INFID, Prakarsa, dan Transparency International Indonesia (TI-Indonesia).
Menurut Hamong, forum G-20 memiliki kekuatan yang cukup besar untuk menekan negara anggotanya agar melaksanakan komitmen yang telah disepakati. Namun, hingga sekarang, belum ada komitmen hasil forum sebelumnya yang telah diimplementasikan dengan baik.
PWYP menyoroti komitmen negara G-20 khususnya terkait isu transparansi, antikorupsi, dan kerja sama perpajakan. Menurut Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP, negara anggota G-20 belum serius menangani praktik aliran uang ilegal yang berasal dari praktik penghindaran pajak dan pencucian uang.
”Indonesia dan negara G-20 harus mendesak dan mengawal perusahaan multinasional terkait implementasi transparansi keuangan dan country by country reporting untuk meningkatkan penerimaan negara. Pembiayaan pembangunan dan penanggulangan ketimpangan sangat ditentukan oleh bagaimana penanganan fiskal di negara masing-masing,” tutur Maryati.
Bagi Meliana Lumbantoruan, Program Manager PWYP Indonesia, pertemuan G-20 menjadi peluang besar untuk menyampaikan masalah ketimpangan yang dihadapi Indonesia dan negara berkembang lainnya.
”Dengan demikian, forum G-20 dapat memberikan dampak yang positif kepada pembangunan Indonesia, negara berkembang, dan tentunya pembangunan global yang berkelanjutan,” ujarnya.
Herni Ramdlaningrum dari Prakarsa menambahkan, pemerintah perlu mendukung pemantauan masyarakat sipil terhadap proyek berskala besar dengan menyediakan data terbuka di seluruh proyek, dari perencanaan hingga implementasi. Korupsi, aktivitas kriminal, dan penghindaran pajak lintas batas merupakan beberapa sumber utama aliran uang haram (illicit financial flow).
Negara yang tergabung dalam G-20 merupakan kontributor hampir 90 persen produk domestik bruto (PDB) dunia, 80 persen total perdagangan dunia, serta dua pertiga penduduk dunia.
Tahun ini, pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 digelar di Argentina pada 30 November hingga 1 Desember 2018. Presidensi Argentina setidaknya membawa tiga isu utama, yaitu isu infrastruktur, masa depan kerja di sektor digital, serta isu ketahanan pangan.