Kebudayaan Jadi Perisai Bangsa
Kebudayaan harus ditempatkan sebagai hulu pembangunan. Strategi kebudayaan pun disusun.
JAKARTA, KOMPAS - Kebudayaan akan menjadi perisai yang kuat menghadapi tantangan-tantangan riil masyarakat masa kini, mulai dari intoleransi, ujaran kebencian, hingga sentimen SARA. Tantangan-tantangan tersebut hanya dapat dijawab apabila kebudayaan ditempatkan sebagai hulu dari pembangunan.
Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Atas dasar amanat inilah, negara wajib berperan aktif dalam menjalankan agenda pemajuan kebudayaan nasional seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang menjadi pengejawantahan dari komitmen tersebut.
“Maraknya kasus intoleransi, ujaran kebencian dan sentimen SARA di masyarakat dewasa ini memberikan tantangan tersendiri terhadap usaha memajukan kebudayaan nasional. Berbagai gugatan terhadap wawasan kebangsaan dan kebinekaan budaya Indonesia bermunculan dewasa ini. Gugatan itu kerapkali diwujudkan dalam aksi-aksi sektarian yang penuh kekerasan dan menggerogoti kepentingan konsolidasi kebudayaan nasional,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam acara Pra-Kongres III “Menyusun Strategi Kebudayaan” di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Selasa (27/11/2018). Forum ini digelar menyongsong Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 tanggal 5-9 Desember 2018.
Maraknya kasus intoleransi, ujaran kebencian dan sentimen SARA di masyarakat dewasa ini memberikan tantangan tersendiri terhadap usaha memajukan kebudayaan nasional.
Menurut Muhadjir, untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, maka kebudayaan mesti mewarnai setiap lini pembangunan. Karena itulah, pengarusutamaan kebudayaan melalui pendidikan menjadi hal penting dalam mencapai tujuan pemajuan kebudayaan.
“Pendidikan merupakan ujung tombak kebudayaan nasional sebab pendidikan sejatinya merupakan upaya pembentukan watak sesuai dengan cita-cita keberadaan bangsa Indonesia. Melalui instrumen pendidikanlah, kebudayaan nasional dapat dimajukan secara meluas dan merata ke seluruh komponen bangsa,” ucapnya.
Dalam rangka menyusun Strategi Kebudayaan yang akan menjadi pedoman bersama dalam menjalankan kebijakan pengarusutamaan kebudayaan melalui pendidikan, Kemdikbud menggelar Forum Pra-Kongres III. Forum ini mencoba menggali masukan dari berbagai pihak yang telah diawali dengan penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
Untuk menyusun rancangan rumusan Strategi Kebudayaan dari berbagai dokumen PPKD kabupaten/kota dan provinsi serta hasil forum-forum Pra-Kongres Sektoral, Kemdikbud membentuk Tim Perumus Strategi Kebudayaan yang terdiri dari Ketua oleh Mendikbud Muhadjir Effendy, Sekretaris Hilmar Farid (Dirjen Kebudayaan), dan 15 orang anggota.
Tujuh isu pokok
Pada Forum Pra-Kongres III, Hilmar memaparkan adanya tujuh isu pokok pemajuan kebudayaan. Isu pertama yang ditemukan adalah munculnya pengerasan identitas primordial dan sentimen sektarian yang menghancurkan sendi-sendi budaya masyarakat.
Pengerasan identitas primordial dan sentimen sektarian menghancurkan sendi-sendi budaya masyarakat.
Isu tersebut menyeruak karena menghilangnya wawasan kebangsaan dalam periode yang terlalu lama, tidak meratanya akses masyarakat pada keanekaragaman budaya, belum adanya mekanisme pengelolaan kebudayaan yang pro-minoritas dan kaum difabel, serta kurang optimalnya dialog antar tata nilai yang berbeda, seperti antara penganut agama, penghayat kepercayaan, dan pelaku budaya tradisi.
Isu kedua adalah meredupnya khazanah tradisi dalam gelombang modernitas. “Masalah ini terjadi karena kurangnya perlindungan terhadap keberagaman ekspresi budaya dan hak berkebudayaan masyarakat, seperti ritus, adat istiadat, kesenian, dan kesusastraan. Belum ada pula mekanisme perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) komunal yang berbeda dengan HKI individual, juga belum optimalnya pemanfaatan budaya modern dalam pemajuan budaya tradisi,” kata dia.
Isu ketiga yang juga disoroti adalah terjadinya disrupsi teknologi informatika yang belum berhasil dipimpin oleh kepentingan konsolidasi kebudayaan nasional. Fakta menunjukkan, revolusi industri 4.0 sudah terjadi dan Indonesia belum siap, Indonesia masih berhenti sekedar menjadi pengguna teknologi dan belum menjadi pencipta. Dalam hal ini, modal budaya sebagai basis inovasi kreatif lewat teknologi informatika belum berhasil dimanfaatkan, entah itu dengan pemanfaatan manuskrip, permainan rakyat, maupun olahraga tradisional.
Revolusi industri 4.0 sudah terjadi dan Indonesia belum siap, Indonesia masih berhenti sekedar menjadi pengguna teknologi dan belum menjadi pencipta.
Berikutnya, isu keempat adalah tentang pertukaran budaya yang timpang dalam tatanan global. Karena situasi ini, maka Indonesia hanya selalu menjadi konsumen budaya dunia. Ini terjadi karena paradigma pembangunan masih memandang kebudayaan sebagai beban, dan bukan sebagai investasi jangka panjang yang dapat menghasilkan peningkatan kesejahteraan umum lewat pemanfaatannya dalam bentuk ekonomi kreatif. Selain itu, belum terbangun juga mekanisme pengakuan hak moral dan hak intelektual komunal untuk karya budaya yang diciptakan secara kolektif, seperti dalam kasus tradisi lisan.
Menurut Hilmar, isu kelima yang patut diperhatikan adalah belum terwujud pembangunan berbasis kebudayaan yang dapat menghindarkan penghancuran lingkungan hidup dan ekosistem budaya. Situasi ini terjadi karena proses reduksi kebudayaan menjadi pariwisata yang tidak mengindahkan daur hidup alam dan masyarakat adat di dalamnya serta akumulasi modal yang membuat irama hidup masyarakat berbenturan dengan irama hidup lingkungan.
Pada isu keenam ditemukan persoalan belum optimalnya tata kelembagaan bidang kebudayaan. Persoalan ini tampak pada ketidakseragaman nomenklatur birokrasi pemerintah bidang kebudayaan di tingkat pusat dan daerah yang akhirnya mempersulit koordinasi dan pengambilan kebijakan secara terpadu. Pada level nasional, terjadi pula tumpang tindih tugas dan fungsi antar kementerian/lembaga dalam bidang kebudayaan. Selain itu, ada pula masalah kurangnya regulasi di tingkat daerah yang berporos pada pemajuan kebudayaan dengan semangat memperkaya keberagaman.
Terakhir, isu ketujuh yang menjadi perhatian adalah desain kebijakan budaya yang belum memudahkan masyarakat untuk memajukan kebudayaan. Kondisi ini terjadi karena tidak adanya sistem pendataan kebudayaan terpadu yang menghubungkan berbagai pusat data pemerintah dan masyarakat yang dapat diakses publik, belum terwujudnya akses yang meluas, merata dan berkeadilan terhadap infrastruktur dan sarana prasarana kebudayaan, serta belum optimalnya tata kelola sumber daya manusia kebudayaan.
Desain kebijakan budaya belum memudahkan masyarakat untuk memajukan kebudayaan.
Menyikapi ketujuh isu tersebut, Strategi Kebudayaan yang akan disusun, yaitu menyediakan ruang bagi keberagaman ekspresi budaya dan mendorong interaksi budaya untuk memperkuat kebudayaan yang inklusif; melindungi dan mengembangkan nilai ekspresi dan praktik kebudayaan tradisional untuk memperkaya kebudayaan nasional; mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan budaya untuk memperkuat kedudukan Indonesia di dunia internasional; memanfaatkan obyek pemajuan kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem; reformasi kelembagaan dan penganggaran kebudayaan; serta meningkatkan peran pemerintah sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan.