Keragaman Indonesia Berasal dari “Pohon Evolusi” yang Sama
JAKARTA, KOMPAS – Pemahaman tentang sejarah ras manusia yang pernah hidup di Nusantara sangat penting untuk melihat secara lebih jelas eksistensi multikulturalitas bangsa Indonesia. Namun, di tengah segala keberagaman ras dan etnik yang ada di Indonesia, pada dasarnya semua masyarakat Indonesia berasal dari “pohon evolusi” sama yang berakar sejak 70.000 tahun lalu tanpa terputus.
Penemuan fosil manusia dan hewan menjadi bukti bahwa kawasan Indonesia khususnya Pulau Jawa telah dihuni manusia setidaknya sejak sekitar 1,5 juta tahun yang lalu, sesaat setelah pulau ini terangkat secara penuh dari permukaan laut pada 1,65 juta tahun silam.
Fosil hominid pertama di dunia yang sangat penting bagi penjelasan proses evolusi manusia ditemukan di Desa Trinil, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur oleh naturalis Eugène Dubois sekitar tahun 1891–1892. Dubois menemukan sebuah atap tengkorak berbentuk pendek dan memanjang ke belakang dengan volume otak sekitar 900 cc dan sebuah tulang paha kiri yang mengesankan pemiliknya telah berjalan tegak. Karena itulah, temuan itu dinamai Pithecanthropus erectus, mahluk penghubung antara manusia dan kera, yang telah puluhan tahun dinantikan oleh para penganut faham evolusionis.
Fosil hominid pertama di dunia yang sangat penting bagi penjelasan proses evolusi manusia ditemukan di Desa Trinil, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Kehadiran Homo erectus (salah satunya Pithecantropus erectus) dari Afrika ke Kepulauan Nusantara terjadi dengan memanfaatkan jembatan darat yang tercipta akibat penurunan air laut secara global di saat terjadi Zaman Es. Pendinginan suhu menyebabkan pembekuan air menjadi es, menurunkan permukaan air laut rata-rata sampai 100 meter. Akibatnya, laut dengan kedalaman kurang dari 100 meter, seperti Laut Cina Selatan (60 meter) dan Laut Jawa (40 meter) segera menjadi daratan pada Zaman Es dan di sinilah migrasi manusia dari Afrika ke Pulau Jawa terjadi.
“Distribusi geografis Homo erectus tersebut berlangsung dalam periode yang sangat panjang, mulai dari 1,5 juta tahun hingga sekitar 200.000 tahun lalu. Aliran Bengawan Solo merupakan tanah pijakan mereka yang terakhir, sebelum benar-benar lenyap dari tanah Jawa pada sekitar 150.000 tahun yang lalu,” kata Harry Widianto dalam orasi ilmiah berjudul “Migrasi dan Proses Hunian Manusia di Kepulauan Nusantara pada Kala Plestosen-Holosen” dalam pengukuhan dirinya sebagai profesor riset bidang arkeologi prasejarah di Graha Utama Gedung A, Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Senin (26/11/2018).
Mejelis Pengukuhan Profesor Riset yang diketuai Prof Riset Bambang Subiyanto mengukuhkan mantan Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini sebagai profesor riset bidang arkeologi prasejarah. Harry pernah menduduki jabatan struktural, yaitu sebagai Kepala Balai Arkeologi Banjarmasin (1994–1998), Kepala Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta (1998–2007), Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran (2008–2013), dan Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013–2018).
Kedatangan Homo sapiens
Setelah terdapat kekosongan hunian manusia selama 100.000 tahun, Kepulauan Nusantara kembali dimarakkan dengan kedatangan Homo sapiens atau manusia modern awal antara 70.000–20.000 tahun yang lalu. Mereka dengan cepat menguasai wilayah Australasia, mulai Asia Tenggara daratan dan kepulauan, hingga Australia Tenggara, Tasmania, dan Melanesia.
Ras Australomelanesid sebagai keturunan dari Manusia Modern Awal, sudah tidak terbendung lagi untuk menguasai wilayah Kepulauan Nusantara. Ras Australomelanesid yang berasal dari Australia Tenggara dan Melanesia diperkirakan datang ke Nusantara sekitar 60.000 hingga 50.000 tahun lalu.
Setelah ras Australomelanesid, datanglah ras Mongolid dengan bahasa penutur Austronesia di Indonesia sekitar 4.000 tahun yang lalu dari utara ke selatan melalui jalur Taiwan-Filipina-Sulawesi. Sementara itu, di bagian barat Indonesia, dari Asia Tenggara ke Sumatera. Sementara itu, ditemukan pula bukti-bukti migrasi ras Mongoloid melewati jalur barat oleh penutur bahasa Austroasiatik.
Hasil temuan arkeologis di Gua Harimau, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan memberi bukti kemampuan ras Australomelanesid untuk tetap bertahan hingga kedatangan ras Mongolid. Bahkan keduanya terbukti hidup berdampingan secara harmonis pada 3.500 tahun yang lalu. Sampai saat ini, keturunan ras Australomelanesid masih bertahan, terutama di wilayah Papua dan Indonesia bagian timur.
Segi-segi historis menunjukkan bahwa bangsa Indonesia di Kepulauan Nusantara saat ini merupakan akumulasi berbagai proses migrasi dan percampuran genetika yang cukup rumit. Populasi Indonesia saat ini dengan karakter kuat ras Mongolid di barat dan ras Australomelanesid di timur, sama-sama mengandung unsur genetika campuran di antara keduanya, walaupun dalam persentase yang rendah.
Populasi Indonesia saat ini dengan karakter kuat ras Mongolid di barat dan ras Australomelanesid di timur, sama-sama mengandung unsur genetika campuran di antara keduanya, walaupun dalam persentase yang rendah.
Situasi semakin beragam oleh kedatangan etnisitas dan ras lain sejak awal Masehi, yang akhirnya membentuk keragaman genetika manusia Nusantara yang menyatu dalam kesatuan politik Bangsa Indonesia.
“Betapa pun kuatnya diversitas ras dan etnik saat ini yang dimiliki Indonesia, situasi ini justru mengajarkan kepada kita, bahwa kita ini sebenarnya berasal dari akar genetis yang sama. Bahwa keragaman yang dimiliki bangsa ini sebenarnya adalah buah dari pohon yang sama, pohon evolusi, yang berakar setidaknya sejak 70.000 tahun lalu tanpa terputus,” kata Harry.
Harry menegaskan, ras Mongolid, para Austronesian awal adalah pendahulu bangsa Indonesia secara langsung dan turut berkontribusi dalam pengayaan bangsa Indonesia saat ini. “Tidak ada jeda evolutif antara mereka dengan kita. Austronesia adalah kita, dan kita adalah Austronesia,” ucapnya.
Kembali ke laut
Pertanian adalah sektor yang telah sangat mereka kuasai, termasuk menjinakkan binatang dan tumbuhan. Selain itu, mereka adalah pelayar ulung, handal dalam mengarungi dan menaklukkan laut. Areal jelajah mereka sejak meninggalkan daerah asal di China Tengah dan bermigrasi ke arah selatan melalui Taiwan, Sulawesi, Asia Tenggara, dan Sumatra, menunjukkan kepiawaian sebagai pelaut ulung.
Bercermin dari perbandingan wilayah laut Indonesia seluas 70 persen dan daratan 30 persen, Harry menarik refleksi bahwa selama 4.000 tahun para Austronesian awal ini mengajarkan kepada kita untuk berpaling ke laut dalam menggali sumberdaya alamnya, bukan semata-mata mengandalkan potensi agraris saja.
”Laut adalah harapan baru yang lebih menjanjikan. Pesan dari para Austronesian awal, kepada kita, para Austronesian terakhir,” ujarnya.
Saat menerima Penghargaan Ilmu Pengetahuan LIPI Sarwono Award 2015, arkeolog senior Prof Harry Truman Simanjuntak juga mengatakan, Indonesia adalah kawasan penting untuk mengetahui evolusi manusia dan budaya. Indonesia memiliki dimensi arkeologis yang sangat kompleks. Letak geografis yang luas dan strategis di antara Benua Asia dan Oseania menjadikan negeri ini sebagai kawasan silang budaya.
Indonesia adalah kawasan penting untuk mengetahui evolusi manusia dan budaya. Indonesia memiliki dimensi arkeologis yang sangat kompleks.
Sejak 1,5 juta tahun lalu, manusia purba Homo erectus datang ke Jawa, disusul Homo sapiens sekitar 70.000 tahun lalu, kemudian ras mongoloid dari Asia Tenggara Daratan dan Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu.