Kepemimpinan Digital Jadi Kunci
Smart city mensyaratkan adanya kolaborasi secara menyeluruh antara teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat kota, dan budaya. Smart city tidak melulu mengenai TIK. Smart city tidak sekadar meningkatkan kualitas hidup. Smart city bukanlah sebuah kota modern yang menghilangkan budaya lokal.
Beberapa poin itu disampaikan Director of the APEC Institute of e-Government Waseda University Prof (Emeritus) Toshio Obi dalam presentasi pada forum berbagi pengetahuan bertajuk ”Transformasi Pemerintahan Berbasis Digital dan Kota Cerdas” di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, Selasa (13/11/2018). Poin-poin itu merupakan rekomendasi untuk pengembangan smart city di Indonesia.
Pada bagian penutup, satu kalimat menjadi kunci terpenting dalam rekomendasi itu. Kalimat tersebut adalah ”keberadaan CIO (chief information officer) di local government menjadi cukup penting untuk pengembangan Smart City”. Hal itu menyusul sejumlah isu penting terkait dengan pengembangan kota cerdas (smart city) yang idealnya dipahami seorang pemimpin atau pengelola kota.
Sejumlah isu itu misalnya terkait dengan konsep smart government, smart mobility, smart economy, smart environment, smart living, dan smart people. Isu-isu itu dihadapkan dengan perkembangan terkini dalam bidang pemerintahan digital atau elektronik yang di antaranya mencakup teknologi komputasi awan, internet of things, kecerdasan buatan, rantai blok, keamanan siber, dan keterbukaan data.
Diskusi yang berlangsung sejak siang hingga petang itu menghadirkan pula sejumlah pembicara lain. Beberapa orang di antaranya adalah Ketua Asosiasi Prakarsa Indonesia Cerdas Prof Dr Suhono Harso Supangkat dan Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Airin Rachmi Diany.
Selain itu, datang pula Dewan Pengawas Apeksi Muhammad Idaham yang juga Wali Kota Binjai, Sumatera Utara, dan President International Academy of Chief Information Officers Prof Naoko Iwasaki yang juga tergabung di Institute of e-Government Waseda University. Bertalian dengan kebutuhan sosok CIO, Naoko dengan fokus riset pada topik itu mengajukan sejumlah hal untuk menjadi bahan perhatian.
Salah satu yang dinilai penting adalah perlunya dilakukan program pembangunan atau peningkatan kapasitas terhadap CIO dalam lingkup pemerintahan. Ini terutama jika dikaitkan dengan otoritas CIO tersebut sebagai pemimpin digital (e-leaders).
Adapun CIO didefinisikan Naoko sebagai seseorang dengan aktivitas utama untuk merencanakan dan mengimplementasikan strategi bisnis dan manajemen terkait dengan TIK. CIO mestilah juga para pemimpin dengan pemikiran inovatif dengan tujuan beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang secara konstan terjadi dalam dunia TIK. CIO memainkan peran penting untuk melakukan pengelolaan dengan inovasi guna meningkatkan keuntungan dan efektivitas.
Lebih jauh, Naoko menyebutkan sejumlah model ideal bagi CIO di pemerintahan. Setidaknya ada empat hal yang mesti dimiliki. Bagian pertama terkait dengan keharusan bahwa seorang CIO pemerintahan mestilah juga pemimpin-pemimpin dalam bidang strategi digital dan rencana yang terkait dengan inovasi dalam masyarakat digital.
Kedua, CIO pemerintahan mestilah terbiasa dengan penggunaan model bisnis baru, di antaranya seperti Robotic Process Automation (RPA) untuk membangun kota cerdas. Selain itu, seorang CIO pemerintahan juga mestilah seorang sosok yang bekerja penuh dengan otoritas dan tanggung jawab yang lebih besar.
Terakhir, CIO pemerintahan yang bekerja penuh dan pangkat tinggi berhubungan dengan kontribusinya terkait dengan keuntungan dan efisiensi organisasi.
Sejumlah hal terkait peningkatan kapasitas itu berhubungan dengan makin banyaknya jumlah penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan. Naoko, dalam presentasinya, menyebutkan, tahun 2050 sekitar 70 persen dari total populasi diperkirakan bakal tinggal di wilayah perkotaan.
Hal itu, tambah Naoko dalam presentasinya, membawa sejumlah tantangan, misalnya terkait dengan jumlah emisi karbon, konsumsi energi, lalu lintas, dan infrastruktur yang menua. Pada bagian lain, kota-kota mulai mengintegrasikan teknologi dan menggunakan sejumlah sensor dan aplikasi untuk lebih menghubungkan dan menginformasikan wilayah perkotaan.
Hal itu membawa konsekuensi dihasilkannya data dalam jumlah raksasa yang datang secara terus-menerus sehingga dibutuhkan sistem yang dapat secara efisien memonitor dan menganalisis data tersebut guna kebutuhan kota. Karena itulah, sumber daya manusia terkait berikut peningkatan kapasitasnya penting dilakukan dengan keterlibatan antara unsur pemerintah, bisnis, dan akademisi.
Capaian Binjai
Pada kesempatan yang sama, Wali Kota Binjai Muhammad Idaham memaparkan tentang perjuangan mewujudkan konsep kota cerdas. ”Mulai (dengan) e-government, (untuk) ciptakan Binjai menjadi kota cerdas,” ujar Idaham.
Ia mengemukakan, tantangan utama dalam mewujudkan konsep itu adalah pendanaan yang relatif sedikit. Ini menyusul APBD Kota Binjai yang juga relatif kecil. Idaham menyatakan, dengan besaran APBD pada kisaran Rp 2 triliun, yang sebagian di antaranya dipergunakan pula untuk belanja pegawai, pendanaan untuk implementasi konsep kota cerdas memerlukan inovasi.
Ini misalnya dengan menggandeng pihak kampus untuk bekerja sama. Di antaranya diwujudkan dengan mempekerjakan tujuh mahasiswa dan sejumlah pegawai alih daya. ”Tidak ada (keterlibatan) vendor dan uang (untuk membeli) software,” ujar Idaham.
Mereka membuat aplikasi sendiri. Kerangka kerja Garuda Smart City Framework (GSCF) versi 2.0 dibesut Smart City & Community Innovation Center dan Prof Suhono menjadi dedengkotnya. Upaya mandiri juga diwujudkan dengan membuat command center dengan biaya yang relatif murah.
Idaham membandingkan biaya itu, misalnya, dengan penawaran yang diajukan salah satu vendor untuk membangun command center guna memantau keseluruhan sistem terkait kota cerdas. ”Command center katanya (salah satu vendor) Rp 15 miliar. Kami bikin sendiri (hanya butuh) Rp 3 miliar,” ujar Idaham.
Idaham menambahkan, untuk sebagian tanggung jawab tersebut, dibutuhkan kehadiran pemimpin yang mau mengikhlaskan sebagian wewenangnya. Ini menyusul bakal dilakukan sebagian tugas dan kewenangan tersebut oleh sistem yang berbasis teknologi cerdas.
Bagi Airin, implementasi konsep kota cerdas berarti pula perubahan paradigma. Bukan hanya terkait dengan kemudahan dalam pelayanan publik dan birokrasi dalam bekerja. Akan tetapi, juga dengan mulai mengadopsi pemikiran bahwa tidak ada lagi persaingan untuk merebut predikat sebagai kota terbaik dengan saling beradu banyak perolehan piala.
”(Pemerintah kota) yang unggul berbagi (dengan pemerintah daerah lain). No one left behind,” kata Airin.
Ia memastikan tidak ada pemerintah kota yang ditinggal atas keunggulan pemerintah kota lainnya. Justru sebaliknya, pemerintah kota yang memiliki keunggulan, termasuk dalam hal pengembangan aplikasi, membagikan keunggulannya itu kepada pemerintah kota lain.
Pada bagian lain, Prof Suhono menegaskan tentang pentingnya keterlibatan dan kontribusi seluruh pemangku kepentingan pada keberadaan kota secara keseluruhan sebagai bagian tak terpisahkan dari implementasi kota cerdas. ”Bukan hanya teknologi, melainkan seluruh stakeholders kontribusi ke kota,” ujar Suhono.
Ia menambahkan, kota cerdas bukan semata-mata tentang kondisi perekonomian atau mengenai produk domestik bruto. Suhono menambahkan, kota cerdas juga bukan tentang penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh segelintir pihak.
Akan tetapi, kota cerdas adalah mengenai keseimbangan antara kepentingan ekonomi, lingkungan, dan masyarakat. Beberapa hal itu merupakan isu mendasar yang justru beroleh perhatian utama.
”Banyak wali kota mulai (implementasi konsep kota cerdas) dengan (teknologi) yang pintar-pintar, tapi (cenderung) lupa yang dasar,” kata Suhono seraya mengingatkan.
Pada titik inilah, kepemimpinan digital dengan pemahaman komprehensif pada tantangan peradaban dan kondisi riil masyarakat menjadi sangat dibutuhkan.