Di Tengah Ketidakpastian Global, Kepemimpinan Terbuka Dibutuhkan
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perekonomian global diprediksi masih akan diselimuti ketidakpastian pada 2019. Kendati demikian, kesempatan dan peluang masih terbuka lebar. Dunia swasta dan pemerintahan membutuhkan kepemimpinan yang berpikiran terbuka serta berorientasi hasil untuk menghadapi gejolak ekonomi.
Presiden Joko Widodo, Selasa (27/11/2018), menyampaikan, kondisi perekonomian dunia hingga saat ini masih sangat berpotensi dilanda ketidakpastian. Perang dagang antara Amerika Serikat dan China belum menunjukkan tanda-tanda bakal mereda. Dengan demikian, kondisi perekonomian saat ini diyakini akan berlanjut pada 2019.
Menghadapi kondisi perekonomian dunia yang berpotensi masih diliputi ketidakpastian, Presiden Jokowi menegaskan, badan usaha milik negara (BUMN), pemerintahan, dan swasta membutuhkan pemimpin yang terbuka.
Keterbukaan, menurut Presiden Jokowi, dibutuhkan untuk menghadapi ketidakterdugaan yang sewaktu-waktu bisa muncul di masa mendatang.
”Pemimpin harus terbuka, bisa bereaksi cepat. Harus berorientasi hasil (goal oriented), bukan berorientasi prosedur. Juga harus mampu berkolaborasi,” ujar Presiden saat memberikan sambutan di acara Kompas100 CEO Forum, di Jakarta.
Lebih lanjut, Presiden Jokowi menyebutkan, CEO yang berpikiran terbuka akan mampu menangkap peluang-peluang. Dampaknya kemudian, perusahaan akan kian lincah berekspansi. Ke depan, pemerintah, katanya, akan berupaya menyederhanakan sistem kerja dan regulasi yang ada saat ini. Presiden menginginkan semakin sedikit peraturan yang menghambat laju perekonomian.
Ditemui dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Sofyan Basir menilai, pejabat eksekutif tertinggi (CEO) harus berpikiran terbuka dan tidak menutup diri atas semua peluang serta kemungkinan yang terjadi di masa depan. Pemimpin yang tertutup dan terlalu berorientasi prosedur akan membelenggu diri mereka sendiri.
”Jangan sampai kita membuat aturan, tapi itu malah menyulitkan kita sendiri. Pemikiran terbuka itu diperlukan. Regulasi yang sederhana akan menarik orang lain datang ke Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengemukakan, penguatan sumber daya manusia (SDM) dan penguasaan teknologi menjadi senjata bagi Indonesia untuk menghadapi tantangan. Karena itu, penting bagi CEO untuk memberikan pelatihan bagi tenaga kerja di perusahaannya.
”CEO juga mesti memperkuat mastering skill-nya. Berpikiran dan memiliki wawasan terbuka. Mengupayakan cara untuk menanamkan nilai-nilai kuat dan komitmen sehingga bisa bertahan menghadapi tekanan dan memenangi persaingan global,” ucap Mardiasmo.
Sulit dipersatukan
Gejolak perekonomian global yang diprediksi masih akan terjadi tahun depan disampaikan Presiden Jokowi berdasarkan pengalamannya mengikuti agenda Konferensi Tahunan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Papua Niugini beberapa waktu lalu. Saat konferensi APEC berlangsung, lanjutnya, pemimpin negara-negara dengan perekonomian kuat bersitegang dan sulit dipersatukan.
Menurut dia, itulah pertama kalinya pertemuan APEC gagal menghasilkan kesepakatan dalam 29 tahun sejarah pertemuan.
”Situasi di APEC menunjukkan perang dagang antara AS dan China kelihatannya masih akan terus berlanjut,” ujar Presiden Jokowi.
Akibat perang dagang, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan volume perdagangan global pada 2018 dan 2019 masing-masing 4,2 persen dan 4 persen. Padahal, pada 2017, volume perdagangan dunia tumbuh 5,2 persen. Pertumbuhan ekonomi dunia pada 2018 dan 2019 diproyeksikan 3,7 persen, lebih rendah daripada perkiraan sebelumnya yang sebesar 3,9 persen.
Jika kondisi ini terus terjadi dan gagal diantisipasi, dampak perang dagang berpotensi mendekatkan Indonesia pada situasi krisis. Oleh sebab itu, Jokowi meminta para pemimpin perusahaan atau pelaku bisnis untuk selalu optimistis. Bagi Jokowi, selalu ada kesempatan dalam setiap tantangan.
Ia meyakini ada peluang-peluang yang terbuka dalam suasana perang dagang. Peluang-peluang itu antara lain datang dari perusahaan-perusahaan multinasional yang terdampak perang dagang.
”Saya diberi tahu menteri, banyak pabrik ingin pindah ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, agar terhindar dari tarif impor mitra perang dagangnya,” kata Presiden.
Saya diberi tahu menteri, banyak pabrik ingin pindah ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, agar terhindar dari tarif impor mitra perang dagangnya.
Selain itu, ada juga peluang dari ekspor untuk mengisi pasar yang terdampak perang dagang. Situasi itu menuntut kesiapan industri nasional untuk meningkatkan ekspor. Pemerintah, lanjutnya, mendukung pelaku bisnis untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan, dalam rangka meningkatkan investasi dan kualitas SDM, pemerintah telah mengeluarkan berbagai macam kebijakan, seperti pemberian fasilitas insentif berupa tax allowance, tax holiday, dan bea masuk ditanggung pemerintah. Selain itu, ada penerapan Online Single Submission (OSS) dan super-deduction tax.
Menurut Airlangga, insentif super-deduction tax dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas SDM industri Indonesia. Dengan adanya insentif tersebut, akan lebih banyak tenaga kerja Indonesia yang mendapatkan pelatihan untuk menghadapi revolusi industri 4.0.
Pelatihan untuk sementara ini sudah diterapkan di level pimpinan perusahaan. Namun, Presiden Jokowi meminta jumlah peserta pelatihan yang terlibat diperbanyak.