JAKARTA, KOMPAS- Belajar dari longsor di Pademangan, Jakarta Utara, Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta mengevaluasi bantaran kali-kali di Jakarta rawan longsor. Tingginya okupansi di bantaran kali membuat tanah labil sehingga seharusnya dilakukan relokasi warga.
Teguh Hendarwan, Kepala Dinas SDA, Selasa (27/11/2018) di Balaikota DKI Jakarta menjelaskan di Jakarta ada 13 kali. Hampir sebagian besar bantaran kali atau lebih dari 70 persen lahan sudah diokupansi dan dijadikan tempat tinggal.
Okupansi yang tinggi membuat lahan bantaran kali labil. "Di bibir kali ada bangunan. Kalau dikeruk pasti longsor," jelas Teguh.
Namun hal itu tidak berlaku untuk titik-titik di sejumlah ruas kali yang sudah dinormalisasi dengan beton dan dilengkapi dengan jalan inspeksi. Ruas yang sudah dinormalisasi, lanjut Teguh, sudah kuat sehingga ancaman longsor minim.
Teguh menegaskan seperti yang terjadi di Pademangan, Jakarta Utara dan di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Longsor terjadi karena lahan yang labil akibat okupansi warga di bantaran kali.
Untuk Pademangan, longsor di awal Oktober yang merusak delapan rumah itu terjadi saat UPK Pengelola Badan Air Dinas Lingkungan Hidup hendak mengeruk sedimen di kali Ciliwung itu. Pengerukan dilakukan tanpa memperhitungkan tingkat kerawanan longsor. Sehingga lahan longsor saat dikeruk.
"Kalau kami, Dinas SDA, saat hendak mengeruk, kami sudah menghitung dan memperkirakan tingkat kerawanan longsor," jelas Teguh.
Sebagai solusi dari lahan longsor di bantaran Kali Ciliwung di Pademangan, Dinas SDA membangun turap. Di sisi utara dan di sisi selatan dengan panjang total 130 meter.
"Saat ini kemajuan turap sudah 60 persen dan ditargetkan awal Desember bisa selesai," jelas Teguh.
Terkait daya dukung lingkungan di Jakarta, Ricki M Mulia, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta menjelaskan, lembaganya mencatat penurunan muka tanah di Jakarta dalam kurun tiga tahun terakhir 2014 - 2017 sekitar 25 sentimeter. Rata-rata dalam setahun penurunan muka tanah di Jakarta 7-8 sentimeter.
Turunnya muka tanah, lanjut Ricki, umumnya disebabkan konsolidasi alamiah dari litologi Jakarta yang relatif muda, eksploitasi air tanah, berat beban dari bangunan, tektonik, dan struktur geologi.
Dikatakan Ricki, Dinas PE DKI Jakarta telah melakukan strategi dan aksi pengelolaan air tanah di Jakarta. Ricki merinci, saat ini Pemprov DKI Jakarta telah membangun 11 sumur pantau sistem telemetri (real time monitoring) untuk mengamati kondisi muka air tanah di Jakarta. Pada tahun 2018 sedang dibangun lima sumur pantau baru.
Teguh melanjutkan, untuk mengantisipasi tanah longsor di bantaran kali, langkah yang bisa ditempuh adalah melakukan pemindahan atau relokasi warga bantaran kali. Sayangnya, antara kebutuhan ruaum dan ketersediaan rumah susun tidak seimbang.