Tertawa Bersama Tanpa Saling Menstigma
Belakangan, sensitifitas publik di dunia maya semakin menguat. Tak sedikit publik figur seperti para komika dihujat karena banyolan-banyolannya. Tapi di Hutan Pinus Mangunan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta siapapun bisa tertawa tanpa harus saling menghujat, apalagi menstigma.
Sesuai dengan “tata krama” yang disepakati bersama seperti tahun-tahun sebelumnya, 2.000-an komika dan penikmat Stand Up Comedy tidak diperbolehkan merekam dan mengunggah video penampilan para komika. Dengan komitmen bersama ini, maka para komika bisa tampil lebih rileks dan penonton pun terbebas dari perbincangan media sosial yang seringkali mudah menyulut kesalahpahaman.
Karena itulah, tema Stand Up Hutan 2018 mengambil jargon “Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu Tawa”, sebuah kesadaran bersama bahwa aneka macam perbedaan sebenarnya bisa disatukan dalam canda dan tawa. Acara yang menghadirkan 60-an komika nasional ini digelar 23-25 November 2018 di Hutan Pinus Mangunan, Dlingo, Bantul.
“Kenapa sih sekarang orang pada sensitif amat di media sosial, parah banget. Perlu kalian sadari ya, yang ada di media sosial itu sebagian besar artifisial. Semua pasti dibuat-buat, yang baik-baik saja yang diunggah atau hal-hal yang gak penting-penting amat. Solusinya sederhana saja, masukin aja kata-kata kunci spam berisi promo iklan atau caci-makian di media sosial pada comment control (fitur pengaturan komentar) agar gak terlihat,” ucap Ernest Prakasa, komika yang juga sutradara dari Jakarta.
Kenapa sih sekarang orang pada sensitif amat di media sosial, parah banget. Perlu kalian sadari ya, yang ada di media sosial itu sebagian besar artifisial.
Ernest lalu menyebut beberapa kata menjengkelkan di lini media sosial yang sengaja ia hapus melalui fitur pengaturan komentar, mulai dari hastag-hastag politik yang provokatif, iklan pemutih, hingga rahasia di balik khasiat buah X. “Kalau itu rahasia, ngapain juga disebarin di WA (WhatsApp),” teriak Ernest yang disambut gelak tawa pengunjung.
Isu-isu toleransi
Ernest bersyukur tema-tema tentang toleransi banyak dibahas para komika di Stand Up Hutan 2018. Sejak awal terjun di dunia Stand Up Comedy, Ernest tak canggung menceritakan pengalaman-pengalamannya didiskriminasi sebagai keturunan Tionghoa dalam materi-materi komedinya.
“Sejak kecil gua di-cina-cinain, di-bully (dirundung) habis-habisan tidak apa-apa. Dan ternyata, pengalaman itu sekarang justru menjadi mata pencaharian gua. Sense humor itu perlu, heran banget kenapa sekarang orang-orang jadi sangat sensitif,” paparnya.
Jui Purwoto, komika asal Bogor juga menyesalkan semakin sensitifnya masyarakat Indonesia sekarang. Orang gampang sekali marah dan sulit bersatu.
“Tetangga saya berantem gara-gara pemilihan gubernur Jakarta. Padahal, punya hak pilih juga enggak, lihat Monas (Monumen Nasional) juga kagak pernah. Saya senang sekali bisa tampil di sini, acara yang penuh dengan toleransi, bebas, tidak ada beban, bisa omong apa aja,” selorohnya.
Saya senang sekali bisa tampil di sini, acara yang penuh dengan toleransi, bebas, tidak ada beban, bisa omong apa aja.
Pengalaman unik juga dibagikan Boris Bokir, salah satu peserta Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV 2012. Boris menceritakan kisah lucunya hidup berdampingan dengan penganut agama lain di Bandung. Meski beragama Kristen, Boris sempat mengikuti pelajaran agama Islam di sekolahnya.
“Hanya gua sendirian pada waktu itu yang Kristen. Setelah dua kali tidak ikut pelajaran Agama di luar kelas, rasanya sepi dan tidak ada teman. Akhirnya, aku ikut pelajaran agama Islam. Rumahku juga dekat dengan masjid, kami sampai hafal bagaimana lantunan adzan karena setiap waktu kami mendengarnya, tak masalah,” paparnya.
Komika muda, Priska Baru Segu, juga mengangkat materi seputar toleransi. “Saya pernah bekerja sebagai pramuniaga di toko hijab, kalau ada produk-produk terbaru, saya langsung mencobanya. Seketika, toko itu menjadi pusat toleransi. Begitu perempuan-perempuan berhijab masuk toko, pramuniaga dengan kalung salib langsung menyambut mereka. Ada teman yang bilang, Priska…kamu hebat, orang Katolik mau kerja di toko hijab. Aku jawab, taruhannya besar…iman,” ucap Priska yang langsung menyulut keceriaan di Hutan Pinus Mangunan.
Begitu perempuan-perempuan berhijab masuk toko, pramuniaga dengan kalung salib langsung menyambut mereka.
Penampilan para komika dengan segala keunikannya disambut penonton dengan kegembiraan. Tak perlu ada sakit hati atau caci-maki karena semuanya membangun kesadaran bersama untuk tetap bersatu dalam canda dan tawa.
Relaksasi
Pemilihan Hutan Pinus Mangunan sebagai lokasi Stand Up Hutan 2018 sangat pas. Di satu sisi para penikmat Stand Up Comedy bisa puas menyaksikan parade lawakan puluhan komika, di sisi lain mereka bisa relaksasi melepaskan diri dari kesibukan harian dengan berkemah di hutan pinus yang sulit terjangkau sinyal.
Kini, Mangunan telah berkembang menjadi daya tarik wisata andalan di Bantul. Wisatawan dalam negeri dan luar negeri berkunjung ke hutan pinus yang mempunyai banyak spot foto menarik ini.
Dalam tiga hari, ekonomi di kawasan wisata Hutan Pinus Mangunan langsung menggeliat. Warung-warung yang biasanya hanya ramai di siang hari akhirnya ramai dijejali pembeli mulai pagi, siang, hingga malam hari.
Sekitar 2.000 orang berkemah di sana. Para komika berkemah di area yang sama dengan para penonton sehingga keakraban di antara mereka semakin terasa. Selain pilihan berkemah, pengunjung juga dapat menginap di puluhan homestay penduduk di sekitar Mangunan.
Sekitar 2.000 orang berkemah di sana. Para komika berkemah di area yang sama dengan para penonton sehingga keakraban di antara mereka semakin terasa.
Penggagas Stand Up Hutan 2018, Anang Batas, mengungkapkan, setiap tahun penikmat Stand Up Comedy di luar ruangan meningkat. Tahun 2016, ajang Stand Up Gunung 2016 baru dihadiri 400-an peserta. Namun, setahun kemudian, pengunjung acara Stand Up Gunung 2017 di bumi perkemahan Wonogondang, Cangkringan, Sleman, DIY naik drastis menjadi 1.300 orang. Tahun ini digelar acara serupa dengan nama baru Stand Up Hutan 2018 dengan peserta 2.000-an orang.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, kesolidan jaringan para komika menjadi kekuatan acara ini. Para komika dari beberapa penjuru kota kompak hadir ke Bantul, seperti Aan Papeda, Abdel Achrian, Adjis doa ibu, Afif Xavi, Alit-alit Jabangbayi, Ali Akbar, Anang Batas, Ananta Rispo, Ardit Erwandha, Arie Kriting, Arya Novrianus, Arif Brata, Andang Ristian, Awangizm, Awwe, Barry Williem, Bintang Bete, Beni Siregar, Bintang Emon, Boris Bokir, David Nurbianto, Dickydifie, Dzawin Nur, Dede Kendor, Ernest Prakasa, Frimawan, Gilang Bhaskara, Gigih Adiguna, Hernawan Yoga, Hifdzi khoir, Heri Horeh, Indra Jegel, Iqbal Kutul, Jui Purwoto, Je Arif, Koko Yawo, Muhadkly Acho, Mamat Alkatiri, Mukti Entut, Marshel Widianto, Mosidik, Mc Danny, Nopek, Oki, Popon Kerok, Priska Baru Segu, Rigen Rakelna, Ricky Wattimena, Reno Fenady, Randhika Djamil, Sanpras, Salman Wibisono, Teguh Nurwantara, Uus, Vikri Rasta, Wira Nagara, Yewen, Yoga, dan Yusril Fahriza.
Selain penampilan komika-komika di atas, Stand Up Hutan 2018 juga menghadirkan band asal Yogyakarta Jikustik, Ghibah Live dan Improvindo, Jasmine Electric, Voice Of Citizens, Vikri & Magic Friends, dan Asamlambung.
Sebagai bentuk dukungan terhadap pelestarian hutan digelar penanaman pohon bersama dan pembuatan 30 toilet di sekitar Hutan Pinus Mangunan. Seperti tema yang ditawarkan “Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu Tawa”, Stand Up Hutan 2018 telah mampu menyatukan segala perbedaan dalam satu tali penyatu, yaitu tawa.