JAKARTA, KOMPAS — Sedikitnya 95 orang melukis kembali sketsa Basoeki Abdullah dan karya-karyanya menggunakan media kopi. Popularitas kopi nyatanya tak sebatas dalam dunia kuliner. Melalui tekstur dan warnanya, kopi juga mampu memberikan nilai artistik yang unik.
Lukisan tersebut ada berkat terselenggaranya lokakarya ”Melukis Potret dengan Media Kopi” di aula Museum Basoeki Abdullah, Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (26/11/2018) pagi. Peserta hadir dari berbagai kalangan, seperti siswa, guru, mahasiswa, dan penggiat seni.
Dalam lokakarya itu, mereka melukis sosok Basoeki Abdullah dan karya-karyanya, misalnya ”Soekarno”, ”Nyai Roro Kidul”, dan potret tamu negara. Basoeki Abdullah sendiri dikenal sebagai pelukis Istana di era kepemimpinan Presiden Soekarno dan Soeharto.
”Kami berusaha menangkap apa minat dari masyarakat. Kami mengembangkannya sebagai sebuah kegiatan untuk museum ini,” kata Kepala Museum Basoeki Abdullah, Maeva Salmah.
Siang itu, aroma kopi menyerbak di seantero ruangan aula. Serbuk dari kopi sachet juga tersebar di mana-mana. Antusiasme peserta terlihat saat mereka terus berdatangan dan berjejalan di ruangan seluas 10 meter x 10 meter itu. Sebagian besar peserta mengaku baru mencoba melukis dengan media kopi untuk pertama kalinya.
Salah satunya adalah Sigit Yudanto, guru Seni Rupa dari SMP Global Islamic School 1 Condet. Ini adalah pengalaman pertamanya melukis dengan media kopi. Meski begitu, karyanya terpilih menjadi salah satu yang terbaik pada siang itu.
Ia turut mengajak dua siswanya mengikuti lokakarya tersebut. Harapannya, perwakilan siswa yang diboyongnya bisa turut membantu menyebarkan ilmu ke kalangan siswa yang lebih luas.
Menurut Sigit, salah satu yang menarik dari penggunaan kopi sebagai media melukis adalah karena kopi merupakan hasil alam. Hal ini dinilai lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan penggunaan tinta yang berbahan kimia.
”Kami sengaja ingin eksplorasi karya dari hasil alam untuk bahan pembelajaran bagi siswa. Ini menarik,” katanya.
Tantangan
Salah satu penggiat seni lukis dengan media kopi adalah Jan Parba. Menurut Jan, melukis dengan media kopi memiliki tantangan tersendiri. Sebab karakteristik kopi adalah mudah luruh saat menempel di kanvas.
”Meskipun kopi di kanvas sudah kering, kalau digores lagi, akan ikut luruh juga,” kata kartunis yang juga salah satu penggagas Komunitas Coffee Painter.
Butuh waktu minimal sehari untuk memastikan kopi tersebut kering, kecuali dengan alat bantu, seperti pengering rambut.
Tantangan akan jauh lebih sulit jika hanya menggunakan serbuk dengan bantuan lem putih atau kanji. Penentuan komposisinya hanya bisa ditentukan saat sudah mencoba melukiskan.
Menurut dia, penggunaan kopi sebagai media lukis cenderung lebih ekonomis dibandingkan dengan media lainnya. Dengan adanya kopi, tidak ada lagi alasan orang melukis karena tidak punya uang.
”Satu sachet kopi seharga Rp 2.000 saja bisa menghasilkan satu karya pada kanvas berukuran 40 x 40 sentimeter,” ungkapnya.
Hasil karya lukisan peserta seluruhnya dipajang selama sekitar 15 menit di sisi kanan dan kiri ruangan. Warna yang dihasilkan seragam, coklat. Yang membedakan adalah efek gradasi dari masing-masing lukisan.
Dua di antaranya dipilih sebagai karya terbaik dan dipamerkan sebagai aset Museum Basoeki Abdullah. Karya pertama adalah lukisan sketsa wajah dari Basoeki Abdullah karya Sigit Yudanto. Karya Basoeki Abdullah berjudul ”Kakak-Adik” yang dilukiskan kembali Dona Hutagalung menjadi karya terbaik lainnya. (FAJAR RAMADHAN)