JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemilihan Umum masih menimbang keputusan paling baik menyikapi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta terkait pencalonan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta pada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Kebijakan memasukkan nama Oesman Sapta ke daftar calon tetap, tetapi mengatur syarat calon terpilih harus mengundurkan diri dari kepengurusan parpol, dianggap opsi paling moderat.
”Sesuai agenda, besok (hari ini) kami memutuskan sikap. Ada tiga opsi yang dipertimbangkan,” kata anggota KPU, Wahyu Setiawan, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (25/11/2018).
Tiga opsi itu adalah, pertama, menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) dan PTUN Jakarta. Ketiga, menjalankan tiga putusan di atas dengan cara memasukkan nama Oesman dalam DCT DPD sesuai perintah PTUN Jakarta, kemudian mengatur calon terpilih harus mengundurkan diri dari kepengurusan parpol. Pengaturan calon terpilih harus mundur seperti mengikuti putusan MK. ”(Opsi ketiga) ini masih dianggap opsi paling moderat karena mengikuti semua putusan hukum,” kata Wahyu.
Problematika hukum yang dihadapi KPU terkait Oesman Sapta muncul setelah adanya putusan berbeda di antara lembaga peradilan. MK dalam putusan uji materi UU Pemilu menyatakan calon anggota DPD tidak boleh pengurus parpol. Putusan ini diadopsi KPU dalam PKPU Pencalonan DPD. Oesman Sapta yang dinyatakan KPU tak memenuhi syarat lalu menguji materi PKPU Pencalonan DPD ke MA serta mengajukan sengketa proses ke PTUN Jakarta. Putusan MA memenangkan Oesman Sapta. Begitu pula dengan PTUN Jakarta yang memerintahkan KPU memasukkan nama Oesman Sapta ke DCT DPD Pemilu 2019.
Pemerhati hukum tata negara Refly Harun mengusulkan KPU memilih jalan peninjauan kembali ke MA. Diharapkan, MA menyelaraskan putusan.