Keramik dan Gerabah Itu Bercerita soal Peradaban...
Oleh
M Fajar Marta
·5 menit baca
Di tempat ini, cerita dituturkan oleh gerabah dan keramik. Benda-benda itu diam, tetapi keberadaannya bercerita. Manusia membawa benda-benda itu menyeberangi lautan bermil-mil jaraknya dengan semangat perniagaan, bertukar pengalaman, dan berjumpa dengan budaya lain.
Benda-benda itu ada di salah satu sudut Museum Seni Rupa dan Keramik yang terletak di kawasan Kota Tua, Jakarta. Gedung itu diresmikan sebagai Kantor Pengadilan Belanda atau Binnen Het Casteel Batavia pada 21 Januari 1870. Setelah Indonesia merdeka, gedung itu sempat digunakan sebagai kantor wali kota pada 1970 sampai 1973. Pada 1990, gedung bergaya arsitektur neoklasik itu digunakan sebagai Museum Seni Rupa dan Keramik yang menyimpan sekitar 1.000 koleksi keramik dan tembikar yang berasal dari Nusantara dan mancanegara sejak abad ke-14 hingga masa kolonial.
Masuk ke sudut timur museum, kita disajikan tembikar, gerabah, keramik, dan porselen yang berusia ratusan hingga ribuan tahun. Sebagian ditemukan di bawah laut bersama kapal karam, sebagian lainnya ditemukan di timbunan tanah. Benda pecah belah itu dipamerkan di dalam akuarium, ditata sesuai dengan asal dan usianya.
Jauh sebelum ada frasa Indonesia, sekitar abad ke-10, pedagang China berlayar membawa keramik campur kaca berkualitas tinggi ke Asia Tenggara, termasuk kawasan Nusantara. Keramik yang mereka bawa adalah keramik putih dengan lukisan bercorak alam, manusia, dan binatang.
Keterangan yang tertera di sekitar museum hanya mencantumkan asal kerajinan dan tahun produksi. Keramik tertua yang dipamerkan berasal dari masa Dinasti Tang, sekitar tahun 618-969. Keramik-keramik itu menjadi saksi bahwa pertemuan dan hubungan antarsuku sudah terjadi di Nusantara ribuan tahun lalu. Orang-orang dari negeri tirai bambu itu tidak membawa senjata, tetapi membawa keramik: pertanda mereka berhubungan baik, bukan berperang.
Di tengah sunyinya museum, benda-benda itu seolah berkisah bahwa semangat bertemu dengan tulus untuk berniaga dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Dalam berniaga, mereka melakukan komunikasi, tawar-menawar, dan melakukan kesepakatan dengan penduduk yang menetap di Nusantara. Dalam perniagaan itu, mereka tidak hanya bertukar barang dan uang. Disadari atau tidak, mereka juga bertukar budaya.
Keramik yang dijual oleh saudagar dari China itu dibuat dari tanah liat yang dicampur pecahan kaca dan dibakar dengan suhu 1.150 derajat sampai 1.300 derajat celsius. Cara itu berbeda dengan kebanyakan pembuatan tembikar dari Jawa yang dibakar dengan suhu maksimal 700 derajat celsius. Motif yang ada di keramik China bernuansa alam. Jual-beli benda mati itu seolah mencoba mengenalkan kemampuan seni rupa orang-orang China.
Budaya di meja makan
Sejarawan Anthony Reid dalam bukunya, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, mengatakan, keramik dari China merupakan komoditas mahal. Keramik itu menjadi barang yang harganya tinggi dan hanya orang-orang kaya yang memilikinya. Piring, gelas, dan mangkuk keramik dari China menghiasi meja makan saudagar di Nusantara.
Pensiunan kurator keramik Museum Nasional, Ekowati Sundari, mengatakan, keramik-keramik itu menggeser beberapa fungsi dan kegunaan tembikar lokal. ”Namun, keberadaan keramik-keramik itu tidak menghilangkan keramik lokal. Bahkan, mereka berdampingan. Sebelum masuknya Islam di Sulawesi Selatan, ditemukan bukti bahwa ada upacara bekal kubur yang menggunakan peralatan keramik dari China dan lokal,” kata Sundari, Selasa (13/11/2018).
Selain itu, budaya menyantap makanan di Nusantara tidak lagi sederhana. Mereka mungkin memakan makanan yang berasal dari Nusantara, tetapi peralatan makan mereka berasal dari negeri yang jauh, yang mungkin belum mereka kunjungi. Mereka makan dengan cita rasa yang sama, tetapi membaur dengan kebudayaan lain.
Usia keramik-keramik yang diam di setiap sudut museum itu memberi kabar dari masa silam: pertemuan banyak budaya terus berlanjut berabad-abad kemudian. Anthony Reid mencatat, pada pengujung abad ke-13, keramik-keramik dari Vietnam dan Thailand masuk ke Nusantara. Bentuk dan fungsinya semakin beragam, tidak hanya keramik yang berfungsi untuk kehidupan sehari-hari, tetapi juga sebagai hiasan dan simbol kerohanian. Seiring berkembangnya agama Buddha dan Hindu, patung-patung juga dijual ke tanah Nusantara.
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Museum Seni Rupa dan Keramik mencatat, keramik-keramik itu dibawa pedagang ke tempat-tempat lain. Hal itu ditandai dengan lokasi penemuan keramik di kapal karam. Jalur itu merentang dari pesisir Riau, Sumatera Selatan, Banten, dan Jakarta. Dari pesisir utara Banten dan Jakarta, keramik itu dibawa ke pesisir Ketapang, Kalimantan Barat. Ada pula yang dibawa ke pesisir Tuban, Jawa Timur. Dari Tuban, keramik itu dibawa menuju Kalimantan Timur, kemudian ke Sulawesi dan Filipina.
Perjalanan pedagang membawa benda-benda itu menyiratkan bahwa jauh sebelum ada kata Indonesia, orang-orang dari berbagai latar suku, agama, ras, dan budaya bertemu di Nusantara. Mereka berkomunikasi, bertemu, dan melakukan kegiatan perniagaan yang saling menguntungkan tanpa peduli warna kulit dan hal-hal lain. Jika tidak menguntungkan, mungkin hubungan niaga itu tidak berlangsung berabad-abad. Buat apa terus menjalin hubungan jika tidak menimbulkan kebaikan? Apalagi berpindah tempat tidak mudah pada masa itu karena teknologi transportasi belum secanggih saat ini.
Sundari mengatakan, dari perniagaan dan perjumpaan itu lahir karya seni baru, contohnya motif batik Megamendung khas Cirebon. Motif itu merupakan adaptasi dari motif awan yang ada di porselen, keramik, dan kain dari China. ”Tidak ada yang murni atau asli di negeri ini. Banyak yang berbaur dan melahirkan produk budaya baru di Nusantara yang sekarang kita bangga-banggakan,” ujar Sundari.
Melihat keramik-keramik itu di sudut Museum Seni Rupa dan Keramik seolah mendengar benda-benda itu bicara. Mereka menyampaikan kisah bahwa macam-macam manusia bertemu, berbagi, dan berkomunikasi jauh sebelum orang-orang itu mengenal konsep negara seperti saat ini. Keramik-keramik itu seolah bicara bahwa leluhur manusia pada masa itu tidak menolak hubungan baik dengan alasan nonpribumi. (SUCIPTO)