JAKARTA, KOMPAS - Target Layanan Lumpur Tinja Terjadwal sebagai salah satu faktor penentu target 100 persen fasilitas sanitasi di seluruh Indonesia pada 2019 memiliki tantangan besar di tingkat daerah. Perbedaan fase pengelolaan, pendanaan, dan sumber daya manusia menjadi tantangan-tantangan besar untuk dihadapi dalam konteks otonomi daerah.
Demikian diutarakan Ketua Tim Tenaga Ahli Optimalisasi Pelayanan Lumpur Tinja dan Penyiapan Penerapan Layanan Lumpur Tinja Terjadwal (LLTT), Serindit Indraswari, Jumat (23/11/2018). Hal itu disebutkannya usai rapat pembahasan laporan draf final pekerjaan terkait optimalisasi program tersebut di Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jakarta.
Hadir dalam pembahasan tersebut, Asri Indiyani, Kepala Seksi Wilayah II, Subdit Pengelolaan Air Limbah KemenPUPR. Selain itu, datang pula sejumlah pakar dan konsultan pengembangan bisnis sanitasi.
Serindit menyebutkan, tahun ini terdapat 23 kabupaten dan kota yang menjadi sasaran kegiatan optimalisasi pelayanan lumpur tinja dan penyiapan penerapan LLTT. Kabupaten Bogor menjadi satu-satunya daerah sasaran program di tahun ini yang termasuk dalam kawasan Jabodetabek. Adapun seluruh kabupaten dan kota itu tersebar di 16 provinsi.
Ia menerangkan program yang dimulai sejak 2015 itu memiliki daerah sasaran yang berbeda-beda setiap tahunnya. Demikian pula dengan tenaga ahli yang turut melakukan optimalisasi layanan tersebut.
Menurutnya, program tersebut sesungguhnya fokus pada upaya penyedotan dan pengangkutan lumpur tinja ke Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT). Akan tetapi nyatanya, ada pula persoalan seputar kemungkinan tanki septik yang bocor dan kemauan masyarakat untuk melakukan penyedotan tinja, mengingat ada biaya yang mesti dibayarkan.
Selain itu, karena sifatnya terjadwal, maka mesti ada pendataan dan administrasi yang membutuhkan biaaya. “(Pemerintah) Daerah siap tidak? (Karena) perlu ada dana tambahan,” ujar Serindit.
Hal ini membuat kapasitas IPLT tidak sepenuhnya terpakai. Serindit memperkirakan, hanya sekitar 10 persen saja kapasitas IPLT yang terpakai.
Hal lain adalah mengenai prioritas penggunaan anggaran pengeluaran oleh setiap pemerintah daerah. Selain itu, cenderung masih ada persepsi bahwa tinja merupakan urusan belakangan yang relatif tidak perlu diperhatikan. Hal ini sekalipun disadari bahwa isu tersebut merupakan layanan dasar bagi warga.
Rencana lanjutan
Sementara itu, Asri yang dihubungi usai rapat pembahasan menjelaskan, terkait pendampingan implementasi LLTT 2018, saat ini telah dihasilkan laporan hasil pendampingan dan rencana tindak lanjut pemerintah daerah pada 2019. “Tahun depan kami akan melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan ini dan mendorong pemerintah daerah untuk melaksanakan tindak lanjut yang sudah direncanakan di tahun 2018,” sebutnya.
Selanjutnya, Asri menambahkan, pihaknya akan menganalisis pengembangan LLTT dan kegiatan integrasi dengan kegiatan pengelolaan air imbah lainnya. Adapun untuk rencana kegiatan di tahun 2020 hingga 2024, saat ini tengah disusun rencana strategis yang terkait dengan kementerian.
“Dan juga, RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah)nya kan (disusun) oleh Bappenas. Jadi kami belum bisa jawab sekarang,” ujar Asri.