Kohesi Sosial Terdampak
MEDAN, KOMPAS - Penggunaan isu agama untuk kepentingan politik dengan memanfaatkan media sosial sebagai alat utama penyebaran membuat sikap saling percaya dalam masyarakat perlahan hilang.
Eksploitasi isu agama dalam kontestasi politik tidak hanya menimbulkan intoleransi dan radikalisme dalam wilayah politik, tetapi juga berdampak buruk karena merusak kohesi sosial masyarakat. Media sosial menjadi alat utama untuk menyebar dan memanfaatkan isu agama dalam kontestasi politik.
Hal itu terungkap dalam hasil riset Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dipublikasikan bersama Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Cabang Medan, Jumat (23/11/2018), di Medan, Sumatera Utara.
”Menguatnya sentimen agama di kehidupan sosial masyarakat bukan merupakan ekspresi kultural masyarakat, melainkan hasil dari eksploitasi isu agama oleh elite politik dalam setiap kontestasi politik,” kata Septi Satriani, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI.
Septi mengatakan, penelitian berjudul ”Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia” tersebut dilakukan di sembilan provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Aceh. Jumlah responden dalam penelitian tersebut total 1.800 orang atau 200 responden per provinsi. Penelitian itu menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif.
Septi menyatakan, penelitian itu bertujuan untuk mengidentifikasi faktor apa yang paling memengaruhi sikap intoleransi dan radikalisme berbasis isu agama dan etnis. Penelitian itu juga untuk menyusun rekomendasi kebijakan yang dapat membangun narasi positif mengenai kebangsaan dan keindonesiaan.
Septi mengatakan, hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap intoleransi terjadi dalam ranah politik dan menguat setiap kali ada kontestasi politik di tingkat daerah ataupun nasional. ”Fanatisme keagamaan yang tinggi, tingkat sekularisasi yang rendah, dan semakin tingginya penetrasi media sosial mendukung politisasi identitas,” kata Septi.
Menurut Septi, agama dan etnisitas masih menjadi preferensi utama dalam pemilihan kepala daerah dibandingkan dengan pertimbangan rasional lainnya.
Septi menjelaskan, sikap masyarakat yang lebih percaya kepada kepala daerah, legislatif, dan presiden, berdasarkan faktor agama dan sukunya tidak mereka kategorikan sebagai sikap intoleransi. Sikap intoleransi yang dimaksud adalah orientasi negatif atau penolakan seseorang terhadap hak sosial dan politik dari kelompok yang tidak disetujuinya.
Media sosial
Septi menjelaskan, sikap intoleransi dalam ranah politik dalam beberapa tahun ini pun semakin kuat. Awalnya, intoleransi itu hanya terjadi dalam ranah politik. Namun, belakangan sikap intoleransi tersebut juga merusak kohesi sosial masyarakat. Sikap saling percaya dan bersahabat yang sebelumnya hidup dalam hubungan sosial masyarakat perlahan-lahan hilang.
Sari Seftiani, peneliti LIPI, mengatakan, penelitian tersebut juga menguji rasionalitas responden dalam membaca informasi dari media sosial atau media lainnya. Mereka menanyakan apakah masyarakat percaya terhadap kebangkitan PKI, kriminalisasi ulama, dan teori bumi datar.
Sebanyak 57,2 persen responden tidak percaya bahwa ada kebangkitan PKI di Indonesia. Demikian pula saat ditanya tentang bumi datar, 77,4 persen tidak mempercayainya. Kemudian, sebanyak 52,9 persen responden percaya bahwa ulama dikriminalisasi negara dan 47,1 persen tidak percaya.
”Hasil penelitian ini menunjukkan rendahnya rasionalitas responden dalam membaca informasi,” kata Sari.
Sari mengatakan, mereka juga meneliti bagaimana sikap responden ketika menerima informasi tentang isu agama melalui media sosial.
Respons
Hasil penelitian menunjukkan, sebanyak 42,4 persen responden yang menerima informasi isu agama melalui media sosial lalu mencari tahu kebenaran informasi tersebut dan sebanyak 44,2 persen mengabaikannya. Namun, 7,6 persen responden merespons dengan marah, sebanyak 2,1 persen meneruskan atau membagi informasi, dan 1,2 persen membalas dengan berkomentar.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, Nurman Achmad, yang menjadi pembahas dalam penelitian tersebut, mengatakan, sampel dalam penelitian tersebut seharusnya juga melibatkan provinsi- provinsi dari wilayah timur agar menggambarkan sikap intoleransi di Indonesia secara utuh.
(NSA)