Air Tanah untuk Domestik Tidak Membahayakan
Penggunaan air tanah dari sumur dangkal untuk keperluan rumah tangga tidak perlu dirisaukan karena aktivitas itu dinilai tidak memengaruhi penurunan muka tanah.
JAKARTA, KOMPAS - Maraknya penyedotan air tanah berkontribusi pada penurunan muka tanah di Jakarta, meski persentase kontribusinya belum bisa dipastikan. Namun, warga yang menyedot air dari sumur dangkal tidak perlu dirisaukan karena aktivitas itu dinilai tidak memengaruhi penurunan muka tanah.
“Konsumsi air sumur dangkal untuk domestik tidak masalah. Yang masalah, jika air sumur dangkal digunakan untuk kegiatan komersial,” ucap Kepala Balai Konservasi Air Tanah (BKAT) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Hendra Gunawan, Jumat (23/11/2018) di Jakarta Utara.
Aktivitas bisnis seperti pabrik dan apartemen harus mendapat izin pemda jika ingin menggunakan air tanah. Jika diizinkan, pengambilan air tanah hanya boleh pada kedalaman minimal 40 meter dari permukaan tanah.
Hendra mengatakan, warga tidak perlu meminta izin guna membuat sumur dangkal untuk kebutuhan air sehari-hari. Apalagi, konsumsi air rata-rata per orang tergolong tidak signifikan mengurangi air tanah, yaitu 150 liter per hari.
Area cekungan
Namun, kelonggaran ini belum menyelesaikan persoalan air bersih bagi warga di Jakarta dan sekitarnya yang masuk area cekungan air tanah (CAT) Jakarta. Sebab, sebagian besar kantong air tanah di area ini terindikasi tidak layak minum berdasarkan standar Kementerian Kesehatan, mengacu pada Peraturan Menkes Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
Air bening dan berasa tawar dari sumur di belakang Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Pademangan Timur, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara, Jumat (23/11/2018). Sumur air tanah dangkal ini masih dimanfaatkan warga sekitar untuk mandi dan mencuci.
Berdasarkan pengamatan BKAT terhadap 143 lokasi di CAT Jakarta tahun 2017, sebanyak 97 sumber air tanah dari sumur dangkal (akuifer tidak tertekan) atau 67 persennya, terindikasi tidak memenuhi persyaratan.
Hanya 46 sumber atau 33 persen yang terindikasi memenuhi syarat. Air tanah tidak sesuai baku mutu air minum antara lain karena kadar natrium, klorida, dan besi melebihi batas.
Karena itu, Hendra meminta warga yang punya akses air tanah layak untuk menekan risiko pencemaran pada air tanah. “Pencemaran bisa terjadi antara lain dari aktivitas peternakan atau konstruksi tangki septik yang tidak sesuai standar,” ujar dia.
Jakarta bagian utara
Secara umum, kantong air tanah dari akuifer tidak tertekan yang tidak layak konsumsi berada di CAT Jakarta bagian utara. BKAT pun memetakan titik-titik dengan air tanah yang masih layak di area utara, antara lain sebuah sumur di Kelurahan Kapuk Kecamatan Penjaringan, di dekat Ancol, serta di Warakas.
Di belakang Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Pademangan Timur, terdapat satu sumur air tanah dangkal yang masih dimanfaatkan warga sekitar, termasuk Subiyati (65).
Ia tinggal di RT 09 RW 10 Jalan Pademangan VIII Kelurahan Pademangan Timur, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara, sejak tahun 1982. Sejak saat itu pula, ia mengambil air sumur tersebut.
“Airnya ada terus, walaupun lagi kemarau,” kata Subiyati.
Ia menggunakan air sumur itu untuk mandi dan mencuci. Air terlihat bening dan rasanya tawar. Namun, Subiyati tak menggunakannya untuk minum.
Meski demikian, menurut Hendra, idealnya tidak ada lagi penggalian sumur untuk mendapatkan air tanah dangkal. Jaringan perpipaan untuk menyalurkan air permukaan ke seluruh warga mesti digarap. Adapun air tanah dari akuifer tidak tertekan dikonservasi agar lestari untuk generasi berikutnya.
Membeli air
Untuk minum, sebagian besar warga seperti Subiyati masih harus membeli air dari jaringan perpipaan yang dijual oleh pedagang air. Sehari, mereka mengeluarkan Rp 3.000 untuk membeli dua jeriken bervolume sekitar lima liter.
Adanya sumur dengan air bersih untuk mandi dan mencuci membantu menekan pengeluaran keluarga Subiyati, yang hanya mengandalkan pemasukan dari suaminya Rp 900.000 per bulan.
Kondisi itu berbeda dengan RT 08 RW 10 Pademangan Timur, sekitar 250 meter dari RPTRA Pademangan Timur. Air tanah dari sumber dangkal di sana tidak layak konsumsi. Air berwarna keruh, meski rasanya tawar. “Kalau lagi musim kemarau, airnya bisa asin,” ucap salah satu warga, Dewi Kartika (42).
Untungnya, jaringan perpipaan sudah masuk ke RT itu, disediakan oleh PT Aetra Air Jakarta. Namun, pipa belum masuk ke rumah keluarga Dewi karena saat program pemasangan perpipaan, keluarganya tidak di tempat. Mereka tinggal di lahan milik PT Kereta Api Indonesia, sehingga warga harus mengikuti program pemutihan agar bisa mengakses air pipa.
Alhasil, keluarga Dewi mesti membeli air untuk mandi dan mencuci. Dalam sehari, mereka menghabiskan Rp 15.000 untuk sekitar 50 liter air bersih.
Untuk masak dan minum, mereka membeli air minum isi ulang seharga Rp 5.000 per dua hari.