Sejak Lama, Orang Jawa Sudah Melawat ke China
MAGELANG, KOMPAS — Sejarah hubungan diplomatik masyarakat Nusantara dengan China ternyata telah berlangsung sejak ribuan tahun lalu, yaitu sejak 131 Masehi. Masyarakat Nusantara yang diketahui paling awal memiliki hubungan bilateral dengan China adalah orang Jawa.
Bukti hubungan bilateral ini terkuak dari catatan China klasik yang disusun sejarawan istana pada masa Dinasti Han (206-220 Masehi) Hou Han Shou bab ke-6 dan Hou Han Shu bab ke-116. “Dari narasi naskah bisa diketahui bahwa Jawa adalah pengambil inisiatif kunjungan ke China. Bangsa kita adalah bangsa pelaut sehingga punya kesadaran melaut,” kata Nurni W Wuryandari, pengajar Program Studi China di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dalam Simposium “Pelawat China di Nusantara” yang merupakan rangkaian acara Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2018 di Manohara, kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (23/11/2018).
Secara bertahap, catatan tentang kedatangan orang Jawa ke China semakin lama semakin lengkap dari masa ke masa. Naskah-naskah tersebut tidak hanya berisi data posisi geografis atau hubungan bilateral, tetapi juga dilengkapi dengan laporan pandangan mata. Dalam catatan Sejarah Dinasti Ming bab 324 pada bagian tentang “Jawa” disebutkan secara lebih jelas narasi tentang orang Jawa yang lebih spesifik yaitu Kerajaan Majapahit.
Sementara itu, sejarawan Jawa pada masa itu justru belum menaruh perhatian pada pencatatan dokumen hubungan bilateral. Data tertua Jawa yang mencatat hubungan bilateral baru bisa ditemukan dalam Serat Pararaton (sekitar abad ke-13). Menurut Nurni, Pararaton mencatat kisah Ken Arok dan Singhasari yang di bagian dalamnya terdapat cerita tentang perseteruan China dengan Jawa saat Kubilai Khan mengirim utusan militer ke Jawa.
Direktur Cheng Ho Cultural Museum di Malaka, Tan Ta Sen bahkan mengatakan, hubungan diplomatik China dengan Nusantara sudah berjalan lebih dari dua ribu tahun. Mula-mula, hubungan diplomatic dimulai oleh para pedagang, penyebar agama, dan pengungsi yang lari dari China karena bencana alam atau pergolakan politik.
Namun demikian, hubungan diplomatic secara resmi antara keduanya baru dimulai sejak Kaisar Ming mengirimkan Laksamana ChengHo sebagai dua besar mengarungi 33 negara dan daerah di Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Barat, hingga Afrika. Tujuan kedatangan ChengHo adalah menyebarkan kebudayaan, dan menunjukkan kebesaran China serta menjalin diplomasi dengan orang-orang asing.
Terbiasa enerima perbedaan
Cendekiawan Islam Prof Azyumardi Azra pada sesi kedua Simposium “Pelawat Muslim di Nusantara” mengatakan, sejak dahulu, masyarakat Nusantara sangat cair menerima perbedaan paham atau agama-agama baru yang disebarkan oleh para pelawat asing melalui jalur laut. Sesuai dengan konteksnya sebagai daerah maritim, menerima pengaruh yang berbeda-beda merupakan suatu hal yang lumrah.
Salah satu agama yang disebarkan ke Nusantara (kini Indonesia) adalah agama Islam. “Teori Islam di Nusantara saya sebut sebagai teori mata air karena datang dari banyak sumber. Tidak ada satu pun yang bisa disalahkan atau dianggap paling benar karena masing-masing teori memiliki kelengkapan buktinya sendiri,” ujarnya.
Kendati semua teori bisa diklaim benar, Azyumardi mengatakan, studi naskah, dan bukti tertulis menyangkut semua teori tersebut harus terus dilanjutkan. Upaya tersebut wajib dilakukan karena sebagian teori ternyata menyimpang, tidak sesuai dengan fakta sehingga menimbulkan distorsi pemahaman.
“Distorsi pemahaman tetap saja terjadi karena banyak teori disusun dari data dan argumen dari Belanda yang tidak dicocokkan dengan sumber lokal, dan sebagian teori dari luar negeri ada juga yang hanya disusun dari persepsi dan pandangan pribadi,” kata dia.
Studi naskah dan bukti tertulis yang harus dilanjutkan, menurut dia, antara lain adalah studi naskah yang ada di keraton Yogya dan Solo. Studi ini, mendesak dilakukan karena 80 persen naskah yang ada di keraton adalah naskah tentang sejarah Islam.
Widyo Nugrahanto, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran Bandung, mengatakan, banyak Muslim Tionghoa yang ikut melakukan penyebaran agama Islam di Indonesia.“Beberapa orang menolak teori tetapi tidak menentangnya dengan kumpulan bukti. Mereka semata-mata hanya tidak suka ketika saya menyebut Tionghoa turut berperan dalam penyebaran agama Islam di Indonesia,” ujarnya.
Widyo sudah melakukan studi mendalam sebelum menulis buku dan artikel menyangkut Tionghoa tersebut. Sejauh ini, ada lima sumber buku dan hasil penelitian yang kerap menjadi sumber tulisannya.
Tahun 1999, dia pun sudah membuktikan sendiri tentang adanya Muslim Tionghoa dengan datang langsung ke Tiongkok. Ketika itu, dia datang ke kota Xi’an, dan di sana dia melihat bahwa di sana ada masjid dengan jemaahnya yang memakai baju gamis dan songkok (peci).
Identitas Kultural Nusantara
Kegiatan tahunan Borobudur Writers & Cultural Festival ketujuh 2018 dengan tema “Membaca Ulang Catatan Harian Pelawat Asing ke Nusantara” resmi dibuka dengan peluncuran sembilan buku dalam dua sesi, Kamis (22/11/2018) di Yogyakarta. Buku-buku yang dibedah masing-masing menawarkan bagaimana identitas kultural Nusantara.
Persis setelah kurator Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2018, Romo Mudji Sutrisno SJ membuka acara sekitar pukul 17.11, moderator sesi pertama peluncuran buku Triana Wulandari yang juga Direktur Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan langsung mengundang lima pembahas. Kelima pembicara itu, meliputi ahli sutra-sutra atau teks suci Buddhis Salim Lee yang membahas buku Yijing: Kiriman Catatan Praktik Buddhadarma dari Laut Selatan, sejarawan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof Djoko Suryo yang mengulas buku Indonesia di Mata India (Kala Tagore Melawat Nusantara), Prof Tan Ta Sen dengan buku Cheng Ho: Penyebar Islam dari China ke Nusantara yang diangkat dari disertasinya di Universitas Indonesia, filolog UGM Sri Margana yang meneropong Buku Suma Oriental karya Tomi Pires, dan sejarawan ahli Batavia Mona Lohanda yang membahas buku Painting and Discription of Batavia in Heydt’s book of 1744.
Buku Yijing: Kiriman Catatan Praktik Budhadharma dari Laut Selatan disusun oleh sarjana Buddhis dari Jepang J Takakusu. Buku ini menarik karena menceritakan tentang pengalaman Yijing ketika tinggal di Shili Foshi yang tak lain adalah Sumatera. Di Sumatera, ia mempelajari teks-teks suci Buddhis dalam bahasa Sansekerta dan Pali.
“Di sini, kita merasakan bagaimana kekayaan kita akan filsuf-filsuf buddhis, nenek moyang kita semua. Kita masih bisa merasakan getaran-getarannya seperti dikatakan Romo Mudji. Filosif-filosofi agama yang berkembang saat itu kini sudah menjadi kearifan lokal. Kalau kita gali lagi akan semakin banyak ditemukan,” kata Salim Lee.
Mudji menambahkan, dari kumpulan surat-surat I Tsing (Yijing) kita diberi kesempatan membayangkan bagaimana situasi Shili Foshi (diperkirakan Jambi) di tahun 671 saat I Tsing berusia 37 tahun singgah belajar di Sabdavidya selama enam bulan sebelum berangkat ke Nalanda, India.
Sementara itu, buku Indonesia di Mata India (Kala Tagore Melawat Nusantara) merupakan rangkuman dari terjemahan surat-surat Tagore mengenai Jawa dan Bali. Ketika Tagore singgah di Keraton Mangkunegaran Solo misalnya, ia menulis bahwa secara agama mereka (orang-orang Keraton Mangkunegaran) sesungguhnya orang muslim. Tapi, mereka paham benar seluk-beluk dewa-dewi Hindu. “Mereka telah merangkul semuaberkas kuno narasi-narasi India,” kata Tagore.
Setelah diluncurkan lima buku pada sesi pertama, selepas makan malam masih ada empat buku lagi yang diluncurkan, yaitu novel Kura-kura Berjanggut yang disampaikan langsung oleh pengarangnya sastrawan Aceh Azhari Aiyub, buku Islamisasi Bugis karya Andi Muhammad Akhmar, buku Gunung Kidulan karya ‘wonggunung’ karya anonim yang dibedah budayawan Solo Halim HD, dan buku Napak Tilas Perjalanan Dang Hyang Nirata di Bali yang merupakan buku perjalanan fotografer I Gusti Dibal Ranuh.
Keempat buku di atas masing-masing mengupas sejarah dan identitas-identitas lokal masyarakat Bali, Bugis, wong Gunungkidul (sebuah kabupaten di DIY), dan imajinasi tentang Lamuri, Malaka, dan Sumatera pada kisaran abad ke-17 saat pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol singgah ke sana.
Penasihat BWCF 2018 Prof Toeti Herati Noerhadi mengungkapkan, BWCF mencoba mengentalkan dan menemukan kembali identitas-identitas kultural masyarakat Nusantara. Identitas-identitas tersebut tampak kuat dalam catatan-catatan yang dibuat para pelawat asing yang pernah singgah di berbagai wilayah Nusantara.