JAKARTA, KOMPAS — Untuk menjadi negara maju, Indonesia perlu menambah jumlah pengusaha di sektor berbasis nilai tambah. Pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan akibat ketergantungan pada ekspor komoditas dan lemahnya penetrasi industri manufaktur.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro menilai, saat ini industri terbuai dengan ekspor komoditas seperti kelapa sawit dan batubara. Jika pelaku industri tidak kembali melirik sektor manufaktur, pertumbuhan ekonomi diprediksi akan stagnan di kisaran 5-5,1 persen.
”Pertumbuhan ekonomi akan jauh lebih tinggi jika dilakukan reformasi struktural untuk mendorong sektor manufaktur dan industri jasa modern,” kata Bambang di Jakarta, Kamis (22/11/2018).
Bambang menuturkan, sebelum terjadi krisis ekonomi 1998, perekonomian Indonesia bisa tumbuh stabil di atas 7 persen karena industri manufaktur masih perkasa. Di samping itu, saat itu nilai komoditas Indonesia, seperti minyak bumi, gas alam, dan kayu, masih tinggi.
Setelah krisis ekonomi, kata Bambang, sektor manufakur mengalami kolaps. Pasalnya, kurs nilai tukar dollar Amerika Serikat terhadap rupiah menguat secara signifikan sehingga menyebabkan banyak industri yang tidak mampu bertahan.
Di saat industri manufaktur berguguran, komoditas batubara dan kelapa sawit menjadi primadona karena banyak negara yang membutuhkan kedua komoditas tersebut. Buaian dua komoditas ini membuat Indonesia terlena dan lupa untuk kembali membangun manufaktur.
”Reformasi industri penting agar Indonesia lepas dari jebakan pendapatan menengah. Untuk menjadi negara maju pada 2040, Indonesia harus memiliki pendapatan 20.000 dollar AS per kapita per tahun,” ujarnya.
Target tersebut bisa ditopang dengan bonus demografi Indonesia dan mengalami puncaknya sekitar 2025 hingga 2030. ”Bonus demografi ini bisa menjadi emas sebagai tumpuan mencapai negeri maju, seperti Jepang yang memanfaatkan momentum tersebut,” kata Bambang.
Dalam peluncuran KG Media di The Ritz-Carlton Jakarta, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membenarkan bahwa terdapat rongga hampa di antara hulu dan hilir sektor manufaktur di Indonesia.
”Di era setelah krisis moneter, Indonesia fokus pada reformasi. Karena merasa nyaman dengan impor komoditas, Indonesia lalu terjebak dan lupa untuk kembali mengembangkan manufaktur,” ujar Sri Mulyani.
Padahal, negara-negara anggota G-20 memiliki ekonomi yang besar karena sumbangan yang signifikan dari sektor manufaktur. Pihaknya memberikan sejumlah fasilitas fiskal untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur, di antaranya melalui penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) untuk industri manufaktur hingga penangguhan pajak impor untuk industri manufaktur.
Di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, Bappenas menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen karena iklim global saat itu sangat bagus. Saat itu harga-harga komoditas sedang tinggi. Ditambah kebijakan moneter The Fed yang menguntungkan negara emerging sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menyentuh 6,5 persen.
Ekspor komoditas tertentu hanya bersifat jangka pendek karena tidak didukung dengan cadangan yang besar. Berbeda dengan manufaktur yang relatif stabil karena berdasarkan permintaan,” kata Sri Mulyani.
Deputi III Bidang Koordinasi Infrastruktur Kementerian Koordinator Kemaritiman Ridwan Djamaluddin menilai, untuk mencapai target revolusi manufaktur, Indonesia membutuhkan tambahan insinyur dan wirausaha.
”Jalan supaya Indonesia menjadi negara maju adalah keilmuwan. Kemudian, memperbanyak pengusaha di sektor yang berbasis nilai tambah. Ciri dari negara maju adalah harus banyak entrepreuneur,” kata Ridwan.