JEMBER, KOMPAS – Pasar ekspor edamame ke negara-negara nontradisional masih terbuka lebar. Komoditas holtikultura tersebut bisa menjadi andalan diversifikasi ekspor untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan.
Budaya komoditas edamame berkembang pesat di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Edamame juga menjadi alternatif komoditas pertanian selain tembakau. Mengutip data Dinas Pertanian Kabupaten Jember, panen edamame terus meningkat dari 4.452 tom (2015) menjadi 4.496 ton (2016), hingga mencapai 5.401 ton (2017).
Bupati Jember Faida menuturkan, lahan-lahan tidur yang tidak produktif di Kabupaten Jember beralih menjadi lahan tanam edamame setidaknya sejak tiga tahun terakhir. Hal itu dilakukan seiring permintaan edamame yang kian meningkat.
Berdasarkan sejumlah penelitian, kontribusi edamame Indonesia untuk pasar ekspor seluruhnya disuplai dari Jember. Kontribusi itu sekitar 7,5 persen dari total kebutuhan pasar edamame dunia. Selain itu, 12,5 persen kebutuhan edamame di Jepang juga disuplai dari Jember.
Nilai ekspor edamame asal Jember meningkat cukup pesat dalam tiga tahun terakhit dari 8,8 juta dollar AS (2015) menjadi 9,9 juta dollar AS (2016), dan mencapai 11,15 juta dollar AS (2017).
“Ekspor edadame kini mulai dikembangka ke produk-produk olahan,” kata Faida dalam wawancara khusus kunjungan kerja Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jember, Jumat (23/11/2018).
Lokasi tanam edamame juga tersebar di berbagai daerah di Jember. Faida menuturkan, budidaya komoditas edamame berawal dari kerjasama antara pemerintah kabupaten dengan salah satu perusahaan asal Jepang pada awal tahun 2000-an. Peneliti asal Jepang menilai tekstur dan kontur tanah di Jember cocok untuk budidaya edamame dengan masa tanam 4-6 bulan sekali panen.
Selain edamame, komoditas pertanian yang menjadi keunggulan Jember lainnya adalah kopi, teh, karet, dan tembakau. Peluang ekspor mulai dilakukan diversifikasi seiring harga komoditas mentah yang sangat fluktuatif. Salah satu caranya dengan mengembangkan komoditas mentah menjadi produk olahan berbasis ekonomi kerakyatan.
Secara terpisah, Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menambahkan, defisit neraca perdagangan menjadi permasalahan Indonesia. Ekspor komoditas pertanian tetap menjadi andalan kendati harga di tingkat global terus berfluktuasi. Pemerintah berupaya memetakan rantai pasok dari hulu ke hilir dan memberikan insentif ekspor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Oktober 2018 defisit 5,51 miliar dollar AS. Padahal, pada kurun yang sama tahun lalu, neraca perdagangan surplus 11,8 miliar dollar AS.
Defisit terjadi karena impor migas dan nonmigas melonjak terlalu tinggi, sedangkan kinerja ekspor turun. Pada Januari-Oktober 2018, nilai ekspor tumbuh 8,84 persen dan impor 23,37 persen dibandingkan periode yang sama 2017.