Tingkat Kedermawanan Tinggi, tetapi Tak Cukup Berbuat Baik
Oleh
Ester Lince Napitupulu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat kedermawanan yang tinggi. Namun, hasil Doing Good Index (DGI) 2018 atau Indeks Perbuatan Baik dari 15 negara Asia menempatkan Indonesia dan Myanmar di kategori terendah, yakni Not Doing Enough atau Tidak Cukup Melakukan Perbuatan Baik.
Hal ini terungkap dari peluncuran DGI 2018 oleh Centre for Asian Philanthropy and Society (CAPS). Indeks ini dari hasil riset yang mengukur faktor-faktor yang memungkinkan atau menghambat kegiatan filantropi di 15 negara Asia, yakni China, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Pakistan, Philipina, Singapura, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, Myanmar dan Vietnam.
Pendiri dan Chief Executive Centre for Asian Philanthropry and Society Ruth A Shapiro dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (21/11/2018), mengatakan, ada empat kategori dalam Indeks Perbuatan Baik, dari yang terendah hingga tertinggi, yakni Not Doing Enough, Doing Okay, Doing Better, dan Doing Well. Indonesia bersama Myanmar masuk di kategori terendah, yakni Not Doing Enough, sedangkan Jepang, Singapura, dan Taiwan berada di kelompok tertinggi, yaitu Doing Well.
Banyak organisasi nirlaba dan yayasan di Indonesia tidak memiliki akuntanbilitas dan transparansi kepada masyarakat. Akibatnya, kepercayaan publik berkurang.
Menurut Ruth, banyak organisasi nirlaba dan yayasan di Indonesia tidak memiliki akuntanbilitas dan transparansi kepada masyarakat. Akibatnya, kepercayaan publik berkurang. Hal itu bisa dilihat dengan kecenderungan masyarakat Indonesia yang lebih mudah melakukan penggalangan dana di lingkungannya sendiri karena mereka lebih mengenal dan percaya terhadap lembaga itu.
Selain itu, pemerintah Indonesia dinilai tidak peka untuk memberlakukan subsidi pajak bagi perusahaan yang rajin memberikan bantuan sosial.
Ruth memaparkan ada empat faktor yang menjadi pondasi riset DGI 2018, yaitu regulasi pemerintah, pajak dan kebijakan fiskal, pengadaan, dan yang terakhir ekosistem.
“Indonesia memiliki lebih dari 3.000 lembaga dan yayasan nonpemerintah di sektor sosial. Tapi hal tersebut menunjukkan kinerja yang buruk pada indeks kami. Ada beberapa faktor penghambat yang membuat Indonesia masuk kategori Not Doing Enough,” ujar Ruth.
Indonesia memiliki lebih dari 3.000 lembaga dan yayasan nonpemerintah di sektor sosial. Tapi hal tersebut menunjukkan kinerja yang buruk pada indeks kami.
Ruth mengkritisi sisi pemerintah yang tidak cukup kuat dalam memberikan regulasi terhadap lembaga-lembaga nirlaba yang bergerak di bidang sosial. “Regulasi yang tidak menyeluruh oleh pemerintah di tingkat daerah dan lokal telah membuat banyak organisasi nirlaba dan yayasan tidak memiliki akuntanbilitas dan transparansi kepada masyaraka. Kondidi ini skhirnya membuat kepercayaan publik berkurang. Hal itu bisa dilihat dengan kecenderungan masyarakat Indonesia yang lebih mudah melakukan penggalangan dana di lingkungannya sendiri, karena mereka lebih mengenal dan percaya terhadap lembaga itu,” jelas Ruth.
Sementara itu, pemerintah juga diminta lebih peka dalam memberikan insentif di sektor pajak dan kebijakan fiskal sehingga bisa mendorong korporasi untuk semakin aktif menjalankan program corporate social responsibility (CSR) mereka.
“Tidak ada salahnya memberlakukan subsidi pajak bagi perusahaan yang rajin memberikan bantuan sosial. Pemerintah seharusnya bisa memberikan ruang kepada korporasi melalui kebijakan pajak demi mendorong pihak swasta menjalankan program CSR-nya. Dengan begitu, pemerintah menunjukkan bahwa kegiatan filantropi didukung dan dihargai,” Ruth menguraikan.
Andalkan dukungan asing
Temuan dalam DGI 2018 menunjukkan Indonesia memiliki peringkat tinggi ketika mengandalkan dukungan asing untuk kegiatan sosial. Sebanyak 66 persen dari organisasi-organisasi di Indonesia yang mengisi survei mengakui menerima dana asing untuk membiayai kegiatan sosial mereka.
Temuan dalam DGI 2018 menunjukkan Indonesia memiliki peringkat tinggi ketika mengandalkan dukungan asing untuk kegiatan sosial.
“Jika Indonesia ingin mengurangi ketergantungan terhadap dukungan asing, Indonesia perlu menyelaraskan insentif untuk bagi donatur domestik. Vietnam dan Thailand memiliki kebijakan pajak yang lebih kondusif yang kemudian dilakukan Korea Selatan dan Hong Kong. Keberadaan donatur domestik ini juga bisa menyelaraskan program pemerintah di sektor sosial,” tutur Ruth.
Ruth meyakini adanya pengurangan pajak bagi perusahaan dalam menjalankan program CSR nya akan berdampak positif bagi masyarakat. Apalagi di Indonesia cukup banyak perusahaan besar yang beroperasi.
Jika regulasi dan insentif pajak serta kebijakan fiskal sudah dibenahi, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah menciptakan eksositem yang menyeluruh bagi seluruh pegiat sosial. Ekosistem ini meliputi setiap elemen di tataran kehidupan bernegara mulai dari individu (sukarelawan), perusahaan besar, hingga pemerintah yang diharapkan bisa bersinergi menentukan langkah dan tujuan bersama dalam menjalankan program sosial.
“Pemerintah dapat dan harus mempermudah individu, organisasi, serta perusahaan untuk berpartisipasi secara efektif dan transparan. Sehingga akan terbentuk sukarelawan, organisasi dan perusahaan yang secara aktif menangani tantangan bersama. Dengan kebijakan yang tepat, investasi sosial dapat mengalir lebih banyak dan kolaborasi dapat lebih mudah diterapkan,” kata Ruth.
Pengurus Filantropi Indonesia, Sita Supomo, dalam salah satu sesi diskusi di acara Filantropi Indonesia Festival (FIFest) 2018 di Jakarta, mengatakan filantropi atau kedermawanan lokal jadi unsur penting mencapai pembangunan berkelanjutan. Itu dilakukan dengan membangun sistem pemberdayaan dan pengawasan berkesinambungan melibatkan semua unsur warga.
”Filantropi lokal amat baik karena menyasar langsung masalah suatu komunitas dan diintervensi warga,” kata Sita.