Labora Sutorus, terpidana kasus pencucian uang dan pembalakan kayu secara ilegal, dikabarkan mendapat izin dari dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang, Jakarta Timur, untuk hadir menjadi wali nikah bagi putrinya di Kota Sorong, Papua Barat, pada Sabtu (17/11/2018). Berembus isu bahwa setelah acara nikah selesai, Labora tidak mau kembali ke penjara. Labora akan melawan lagi.
Berdasarkan surat Kepala LP Kelas I Cipinang yang ditujukan kepada Kepala LP Kelas IIB Sorong, sebagaimana yang diperoleh Kompas, Labora tiba di Sorong pada Jumat, sehari sebelum acara pernikahan. Dalam surat itu juga disebutkan bahwa Labora sudah harus meninggalkan Sorong pada Senin (19/11/2018) pagi.
Informasi itu mendorong Kompas untuk berangkat dari Ambon, Maluku, ke Sorong pada Sabtu petang agar dapat memantau perkembangan Labora dari dekat. Ihwal isu yang berembus itu masih bisa diperdebatkan kebenarannya. Namun, melihat dari rekam jejak Labora, ada baiknya perlu diantisipasi lebih dahulu. Jangan sampai dia kembali berulah.
Labora sempat membuat geger bangsa ini. Bekas polisi yang bertugas di Kepolisian Resor Raja Ampat dengan pangkat Ajun Inspektur Satu itu pernah tercatat memiliki 60 rekening dengan total nilai Rp 1,5 triliun. Ia lalu diproses hukum dengan tuduhan kasus pencucian uang dan pembalakan kayu secara ilegal. Pada 17 September 2014, Mahkamah Agung menjatuhkan pidana penjara selama 15 tahun.
Selama menjalani masa tahanannya di LP Kelas IIB Sorong, Labora dikabarkan kabur dari penjara. Ulahnya itu membuat aparat keamanan pusing. Saat hendak ditangkap di rumah di kawasan Tampa Garam oleh 683 personel Polri, Labora yang diduga dikawal oleh oknum tertentu berhasil melarikan diri. Setelah 469 hari pelariannya, ia kemudian menyerahkan diri pada Senin (7/3/2016), sebagaimana pernah diberitakan harian ini.
Apakah drama ini akan terulang lagi?
Kompas lalu terhubung dengan seseorang yang mengaku dirinya dekat dengan Labora dan penasihat hukumnya. Pria berinisial J itulah yang pertama kali mengembuskan kabar bahwa Labora akan melawan petugas. Labora akan berusaha untuk tidak mau kembali lagi ke Sorong. Kata J meyakinkan.
Setiba di Sorong, Kompas bertemu J dan dua pengacara Labora, yaitu Jandres Sihaloho dan Fernando Ignasius Kudadiri. Dalam pertemuan itu, mereka bertiga menyampaikan lagi bahwa Labora akan melawan. Mereka lalu mengajak Kompas bertemu Labora. Kata mereka, Labora ingin curhat tentang ketidakadilan dan permainan hukum dalam kasus itu.
Sabtu malam saat hendak bergerak menuju kediamanan Labora, J menyatakan tidak mau ikut. ”Gua ASN, Bang,” ujarnya. J merupakan aparatur sipil negara. Dari kantornya di Jakarta, ia terbang ke Sorong pada Jumat malam untuk urusan itu.
”Kalau ketahuan sama orang-orang lapas, gua bisa habis,” ujarnya lagi. Labora memang berada dalam pengawasan melekat sejumlah petugas LP Cipinang dibantu aparat gabungan. Selain mencegah Labora berulah lagi, pengawalan itu juga bertujuan untuk mencegah agar jangan sampai ada awak media yang boleh bertemu dengan Labora.
Sabtu malam itu mobil melaju dari pusat Kota Sorong ke kediaman Labora di Tampa Garam. Kompas mengikuti kedua penasihat hukum itu. Sekitar pukul 22.30, mobil masuk ke dalam gerbang areal usaha wisata sekaligus tempat tinggal Labora. Mobil diparkir di samping rumah, tempat Labora tidur. Pengacara dan keluarga Labora terus berkomunikasi. Jandres dan Fernando mengaku J sebagai koordinator dalam komunikasi itu.
Mereka sepertinya menunggu hingga petugas dari Jakarta itu tidur. Tujuannya agar bisa bertemu Labora. Hingga pukul 00.30 keesokan harinya, suasana masih ramai. Pengacara memutuskan untuk balik. ”Besok pagi kami coba datang lagi, Bang,” ujar Jandres. Keesokan harinya, Kompas kembali dihubungi oleh J agar bergerak ke Tampa Garam. Labora sudah bisa ditemui.
Sekitar 20 menit di ruang tamu, Labora pun muncul. Pengacara lalu memperkenalkan Kompas dan meminta kesediaan Labora untuk diwawancarai. Labora pun bersedia. Dalam kesempatan itu, Labora mengaku mengalami tekanan selama dirinya menjalani masa hukuman di LP Kelas I Cipinang. Ia juga menyampaikan sejumlah kejanggalan dari proses hukum yang dialami seraya memohon keadilan.
Menurut Labora, tekanan dimaksud dialaminya dari oknum petugas di LP Cipinang. Tekanan itu ditujukan kepada Labora agar ia tidak boleh buka mulut atas apa yang dialami baik dalam penjara maupun terkait penanganan masalah hukum. Kendati demikian, Labora tidak mau menyebutkan nama petugas dimaksud. ”Sitorus, kau tahu ini penjara kalau baku bunuh itu tidak susah. Jangan kau macam-macam sama saya,” kata Labora meniru omongan petugas LP Cipinang itu. Seingat dia, hal tersebut dialaminya sebanyak tiga kali. Kondisi itu yang membuat dirinya semakin tertekan.
Labora juga mempertanyakan penanganan kasus yang menimpa dirinya yang ia nilai banyak berbenturan dengan aturan hukum. Sebagai contoh, selama penahanan dirinya belum mendapatkan surat perintah penahanan. Juga pada saat penyelidikan, dirinya tidak diperiksa sehingga tidak ada berita acara pemeriksaan. Begitu juga dengan hartanya yang di situ sebanyak lebih kurang Rp 70 miliar.
Mendengar informasi bahwa petugas pengawal Labora sudah berada di luar rumah itu, sesi wawancara diakhiri. Kompas dan dua pengacara itu segera keluar. Sebuah mobil sudah parkir untuk menjemput. Mobil lalu bergerak menuju salah satu lopo masih dalam areal itu. Di sana sudah menanti J. Mereka lalu membicarakan beberapa hal. Kompas kemudian meminta pergi.
Sepanjang siang itu, J terus menghubungi Kompas. Dia mengatakan bahwa akan ada gerakan massa dari loyalis Labora untuk melawan petugas dan meminta Labora tetap tinggal di Sorong. Pada Minggu malam, kata J, perdebatan dalam keluarga memanas. Pada Senin pagi, J menyampaikan bahwa Labora memutuskan kembali ke Cipinang.