Industri Dilibatkan dalam Pendidikan Vokasi
Keberhasilan pendidikan vokasi dapat diukur dari keterserapan lulusan pada dunia kerja. Dapat juga ditempuh terobosan dengan mengarahkan siswa-mahasiswa memproduksi barang sesuai kebutuhan masyarakat
Harian ”Kompas” bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Kementerian Koordinator Perekonomian menggelar diskusi “Mencari Strategi Pendidikan Vokasi yang Selaras dengan Arah Pembangunan Ekonomi Indonesia”, di Jakarta, Kamis (8/11/2018). Tampil sebagai narasumber Deputi IV Kementerian Koordinator Perekonomian Rudy Salahuddin, peneliti pendidikan LIPI Makmuri Sukarno, Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan Kadin Bob Azam, Direktur Politeknik ATMI Solo T Agus Sriyono, serta Guru Besar Kecerdasan Buatan dari Binus University Widodo Budiharto. Laporan dari diskusi tersebut dimuat pada edisi Rabu (21/11) dan Kamis (22/11).
Pendidikan vokasi, tak bisa dipisahkan dari standar kompetensi yang memang harus mengacu pada perkembangan di industri. Kegagalan pendidikan vokasi yang lebih fokus pada sisi supply (menyiapkan lulusan lewat pendidikan), nyatanya hanya akan menambah pengangguran terdidik. Karena itu, perubahan menuju pendidikan vokasi berbasis demand atau kebutuhan industri, diyakini jadi salah satu kunci penting utnuk membuat pendidikan vokasi punya manfaat menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan, dari skala daerah, nasional, maupun global.
Pendidikan vokasi yang mencakup mulai dari SMK, politekenik, Balai Latihan Kerja (BLK), maupun pendidikan dan pelatihan lain yang dilakukan masyarakat/komunitas, harus menyesuaikan pada standar kompetensi industri, karakter yang diterima industri, praktik kerja, dan pemagangan. Di sinilah, peran industri juga menjadi penting dalam emmajukan pendidikan industri.
Kondisi perekonomian dan perindustrian Indonesia sebenarnya membutuhkan lebih banyak tenaga terampil selevel SMK sampai Politeknik. Sebab, Indonesia masih membutuhkan pembangunan industri yang ada unsur otomasinya, katakanlah sekarang pabrik-pabrik cerdas atau smart factory istilahnya di era revolusi industri 4.0, membutuhkan tenaga kerja yang terampil. Bukan buruh kasar, namun bukan pula ilmuwan. Sebab, ilmuwan-ilmuwan itu hanya sedikit saja di industri, tetapi lebih ke tenaga-tenaga trampil, yang bisa meningkatkan produktivitas.
Pendidikan vokasi yang berhasil tentunya yang menitikberatkan praktik. Idealnya praktik di industri melalui pemagangan. Hal ini dimulai dengan penyesuaian kurikulum pendidikan di vokasi dengan yang terjadi di industri. Untuk itu, standar kompetensi industrinya harus ada, yang semestinya telah dirumuskan asosiasi industri terkait.
Sistem pemagangan
Dalam upaya mendorong keterlibatan industri dalam memperkuat kemitraan untuk mewujudkan link and match atau kesesuaian pendidikan vokasi –industri, salah satunya melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Sistem pemagangan yang melibatkan industri perlu dibuatkan sistem yang baik. Tujuannya agar vokasi bisa berjalan dengan baik. Sebab, banyak juga yang sekolah vokasi, tetapi magangnya tidak berjalan dan terstandar.
Kinerja pemagangan di dunia industri untuk menyiapkan tenaga kerja yang siap dengan industri masih rendah. Pencari kerja yang masuk ke dunia kerja setiuap tahun sekitar 2,5 juta orang. Dari jumlah tersebut, yang ikut pemagangan di bawah 100.000 orang. Diharapkan dalam dua tahun ke depan, pemagangan sedikitnya bisa menjangkau 20 persen dari total pencari kerja.
Pemagangan digalakkan dengan koordinasi dari Kementeriaan Korodinator Bidang Perekonomian. Bersama Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perindustrian, Kadin sejak dua tahun lalu menggalakakan pemagangan.
Proyek percontohan dilakukan di Karawang, Jawa Barat. Pada awalnya ada sekitar 2.000 perusahaan yang intens untuk mengikuti pemagangan. Namun, sampai ini yang aktif hanya 200 perusahaan atau sekitar 10 persen.
Ternyata pemagangan ini tidak semudah yang dibayangkan, agar lepas dari image magang selama ini yang membuat kopi dan fotokopi. Yang diinginkan tentunya pemagangan yang benar-benar ada kurikulum, mentor, proses, hingga pengakuan atau rekognisi.
Tidak banyak industri yang siap dengan sistem pemagangan yang baik. Semisal untuk menjalankan magang siswa SMK, bukan cuma butuh guru produktif, namun juga guru-guru industri. Inilah yang menjadi masalah, karena pengembangan bagi guru-guru atau instruktur di industri tidak berjalan.
Kadin berupaya mulai mencetak guru-guru yang ada di industri, agar mampu merancang kurikulum pemagangan, lalu diterjemahkan ke dalam modul-modul pelatihan di industri. Targetnya tersedia sekitar 4.000 guru industri yang akan menjadi itra bagi guru-guru di SMK.
Membangun kurikulum pemagangan harus mengacu pada standar kualifikasi nasional. Namun, hal ini juga tidak gampang karena penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) pembentukannya lebih menggantungkan kepada orang orang tertentu, yang belum tentu diterima industri karena beda merk.
Belum lagi, ada salah paham dalam pemagangan yang dianggap sebagai model kerja upah murah terselubung, Akibatnya, ada perusahaan yang menolak pemagangan karena penolakan serikat pekerja.
Artinya, secara infrastruktur memang banyak yang harus dipersiapkan supaya pendidikan vokasi ini bisa berjalan. Dunia industri di Indonesia perlu disispkan , didorongm dan didukung, serta dimotivasi juga untuk bisa menjalankan pemagangan. Tidak hanya industri besar, tapi juga industri menengah dan industri kecil.
Dengan hasil pendidikan vokasi yang link and match ke industri, bukan hanya industri besar yang untung. Harapannya, industri menengah kecil juga punya akses untuk mendapatkan tenaga-tenaga kerja yang baik, yang diperoleh dari pendidikan vokasi ini.
Dalam realitasnya, industri menengah agak kesulitan untuk mengakses tenaga-tenaga terampil itu. Sebagai contoh untuk mendapatkan drafter atau pengawas lapangan lulusan SMK yang mau bekerja di kontraktor-kontraktor kecil sehingga kualitas kontraktor kecil itu bisa lebih bagus, tidak mudah. Hal inilah yang dicoba diatasi untuk menjadikan pendidikan vokasi itu sebagai pendidikan yang menghubungkan antara dunia pendidikan dan industri. Pemagangan ini adalah salah satu infrastruktur yang harus dibangun dan dilihat sebagai ukuran keberhasilan dalam pengarusutamaan pendidikan vokasi.
Oleh karena itu, penyiapan instruktur-instruktur industri supaya pendidikan vokasi bermanfaat bagi pengembangan perekonomian bangsa harus serius dilakukan. Sayangnya, bukan perkara mudah untuk mencetak instruktur industri yang dalam jumlah banyak, belum lagi soal sertifikasi.
Penting untuk memastikan pendidikan pendidikan vokasi bisa berjalan dengan baik. Sebab, seperti negara maju lainnya, pendidikan vokasi ini bisa jadi kunci untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia, kunci untuk meningkatkan daya saing bangsa, dan kunci untuk memenangkan persaingan ke depan.
Pemerintah berjanji untuk mengupayakan agar industri yang mendukung vokasi mendapat insentif, berupa super deduction tax. Pengurangan tax deductable bisa mencapai 200 persen untuk apa yang sudah dikeluarkan industri dalam mendorong vokasi, Misalnya industri mengeluarkan Rp 1 miliar untuk vokasi, di luar dari yang dilakukan untuk internalnya industri, maka industri bisa mendapat pengurangan tax Rp 2 miliar. Namun, pemberian insentif ini masih diformulasi, utamanya soal kompetensi-kompetensi yang bisa diorong untuk mendapatkan insentif fiskal tersebut.
Selain itu, didorong pula untuk mengembangkan skema skill development fund dan unemployment benefit. Tujuannya untuk melatih orang-orang yang terkena pemutusan hubungan kerja akibat dari otomatisasi atau revolusi industri 4.0. Sebab, mereka tidak punya uang untuk membiayai pelatihan. Untuk itu, menerampilkan kembali dan menambah keterampilan orang-orang yang ada dalam dunia kerja nantinya bisa dilakukan dengan skema pendanaan skill development fund dan unemployment benefit ini. Skema ini sedang dikaji serius dengan industri tanpa membebani lagi pengusaha atau pemberi kerja.
Tidak seragam
Pekerjaan rumah yang harus dilakukan masih banyak. Untuk itu, perlu ketelatenan mendetilkannya dalam rencana dan strategi kerja bersama pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat untuk menjadikan bangsa ini unggul melalui penguatan pendidikan vokasi. Untuk itu, ke depannya pendidikan vokasi ini tidak hanya didorong oleh pemerintah pusat, tetapi harus tumbuh dari keinginan di daerah.
Kebijakan pendidikan vokasi ini tidak bisa dilihat dari kacamata pemerintah pusat saja yang kemudian membuat kebijakan yang berlaku dari Sabang sampai Merauke. Pertama, harus melibatkan industri karena industri yang paling tahu kebutuhannya. Kemudian, pemerintah daerah dalam rangka mendukung pertumbuhan daerah. Dari msukan-masukan sinilah dielaborasi untuk jadi kebijakan nasional.
Sebagai contoh, ada kebijakan pemerintah yang ingin meningkatkan wajib belajar 9 tahun menjadi 12 tahun. Dari pandangan dunia insutri, sebenarnya pendidikan dasar cukup 9 tahun. Tetapi dari 9 tahun ke 12 tahun itu wajib terampil. Artinya, siswa di jenjang ini sudah harus memilih keterampilan yang mereka inginkan, Konsekuenasinya, perlu perubahan di dalam sistem pendidikan yang ada saat ini untuk memastikan bahwa di SMP itu para siswa sudah harus dapat menentukan minatnya, Sebab, vokasi itu selain praktik lapangan, juga berdasarkan minat.
Di sistim pendidikan pun sejak di SD-SMP dibenahi, di mana para siswa diberikan wawasan mengenai profesi. Dengan demikian, begitu masuk SMA mereka sudah harus siap untuk memilih pekerjaan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menujang pilihan pekerjaan nanti.
Dengan anggaran pendidikan yang semakin besar setiap tahunnya, pembekalan keterampilan bagi siswa ini juga penting untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek. Hal ini bisa dipenuhi melalui pelatihan. Sayangnya, dana pelatihan sangat kecil, berkisar Rp 1 triliun rupiah. Padahal, padahal sebanyak 800.000 ribu lulusan SMK yang masuk ke tempat kerja itu, sekitar 20 persen menganggur karena pendidikannya tidak sesuai dengan pekerjaan. Masalah ini harus diselesaikan melalui pelatihan.
Oleh karena itu, dari kebijakan anggaran juga harus ada perubahan, dengan memberikan porsi yang cukup untuk pelatihan.Melalui pendidikan vokasi, ada pelatihan softskill, keterampilan, pengetahuan, dan karakter , yang menjadi satu kesatuan. Pendidikan semacam ini untuk menghasilkan anak muda bangsa menjadi orang yang luhur, mulia, dan punya pekerjaan.
Melalui pekerjaan itulah anak muda bangsa membangun masa depan dirinya dan keluarganya. Sejatinya, vokasi itu strategi yang tepat supaya orang punya pekerjaan yang bisa dibanggakan.