JAKARTA, KOMPAS - Konsumsi rumah tangga dan investasi diyakini menjadi hal yang krusial untuk mencegah pelambatan ekonomi pada tahun 2019. Apalagi, kondisi defisit neraca perdagangan diperkirakan masih sulit ditekan.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, dalam diskusi CORE Economic Outlook 2019, Rabu (21/11/2018), di Jakarta, mengatakan, peluang konsumsi rumah tangga 2019 akan dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Misalnya, kenaikan upah minimum, upah tenaga kerja aparatur sipil negara, penyaluran bantuan sosial, serta belanja kebutuhan pemilihan umum (pemilu).
Dia lantas menggambarkan kondisi setahun terakhir. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepanjang triwulan I sampai III tahun 2017 sebesar 4,94 persen. Sementara pada periode sama 2018, pertumbuhannya mencapai 5,03 persen.
Porsi konsumsi rumah tangga kategori makanan dan minuman selain restoran berada di urutan teratas. Selama sembilan bulan tahun 2017 persentase kategori ini sebesar 36,6 persen, lalu naik menjadi 36,7 persen pada periode sama tahun 2018.
Kategori kedua teratas adalah transportasi dan komunikasi. Porsinya mencapai 24,8 persen selama triwulan I hingga III tahun 2017. Kemudian, porsi naik menjadi 24,9 persen pada periode sama tahun 2018.
CORE Indonesia memprediksi pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada 2019 bertahan 5 persen. Keempat faktor pengaruh konsumsi rumah tangga 2019 tetap memiliki daya dorong, meskipun tidak berdampak signifikan.
Dari sisi investasi, dia menyebutkan, secara kumulatif hingga triwulan III-2018 penanaman modal tetap bruto (PMTB) masih tumbuh 6,91 persen lebih tinggi dibanding periode sama tahun 2017, yakni 5,75 persen. Meski begitu, dia berharap, pemerintah perlu mewaspadai gejala pelambatan investasi, khususnya penanaman modal asing (PMA). Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, pada 2018, pertumbuhan PMA triwulan II mengalami -13 persen dan triwulan III tercatat -20 persen.
"Penyebab pelambatan investasi masuk diduga berasal dari faktor eksternal, seperti pelambatan ekonomi global. Pengalaman sejarah mengatakan, berinvestasi pada tahun pemilu justru kurang diminati," kata Faisal.
Selama tiga triwulan pertama tahun 2018, PMA sektor sekunder atau manufaktur mengalami penurunan 24 persen, sedangkan PMDN turun 13 persen. Jika dibandingkan periode sama tahun 2017, penurunan PMA sektor ini sebesar 23 persen dan PMDN 3 persen.
"Kami membaca ada kecenderungan investor masuk ke sektor tersier atau jasa. Pemerintah terus memikat investor asing, baik melalui paket kebijakan ekonomi maupun pembukaan daftar negatif investasi. Sejauh ini belum ada evaluasi, malah kami mendengar keluhan investor terkait ketidakkonsistenan pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan," tambah dia.
Menyambung Faisal, ekonom senior CORE Indonesia Ina Primiana mengatakan, industri manufaktur tumbuh melambat sepanjang 2018. Pada triwulan I-2018, pertumbuhan sektor ini tercatat 4,56 persen, lalu turun menjadi 3,84 persen triwulan berikutnya. Adapun triwulan ketiga, pertumbuhan mencapai 4,32 persen.
Share industri manufaktur terhadap produk domestik bruto mengalami penurunan sejak 2010 hingga sekarang. Pada 2010, share mencapai 22,04 persen. Adapun sepanjang 2018, share berada di kisaran 21,05 persen.
CORE Indonesia memprediksi, industri manufaktur akan tumbuh marjinal di kisaran 4,26 sampai 4,3 persen pada 2019. Dia mengungkapkan beberapa alasan. Pertama, kebijakan fiskal, perdagangan, energi, dan tenaga kerja belum saling sinkron. Kedua, kebijakan sistem perijinan terpadu daring (OSS) belum berjalan sesuai harapan, terutama di daerah. Ketiga, biaya produksi diproyeksikan naik karena ada potensi kenaikan harga bahan bakar minyak dan pelemahan nilai tukar rupiah.
Potensi peningkatan permintaan ke sektor manufaktur tahun 2019 diprediksi berasal dari konsumsi domestik, transportasi, dana bantuan sosial, pemilu, dan kerja sama antarnegara.
Dari sisi keberpihakan negara, Ina mengungkapkan, selama dua tahun terakhir, alokasi belanja insentif pajak untuk sektor manufaktur hanya tumbuh dua persen. "Sektor industri manufaktur bersifat padat karya. Hal ini semestinya menjadi perhatian pemerintah," kata dia.
Pendiri CORE Indonesia, Hendri Saparini menyambut baik upaya pemerintah yang terus menerus memperkokoh makro ekonomi. Dia berharap, pemerintah juga tetap perhatian terhadap sektor riil, seperti perkembangan industri manufaktur dan pertanian.
Dia lantas mencontohkan kondisi di Vietnam yang kini sudah bisa bertransformasi menciptakan nilai tambah dari ekspor komoditas ke barang hasil manufaktur bernilai tambah.
Hendri membenarkan sejumlah negara tengah bertransformasi menghadapi era revolusi industri generasi keempat. Oleh karenanya, mereka mendorong peran sektor jasa.
"Kalau pemerintah Indonesia menginginkan hal sama, maka orkestra kebijakan pendukung harus jelas. Negara-negara yang bertransformasi telah mengembangkan kerangka regulasi dan arah industrialisasi," tutur dia.