Jasa Perjalanan dan Pariwisata Kurangi Defisit Transaksi Berjalan
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diharapkan fokus pada meningkatkan ekspor jasa, khususnya di sektor perjalanan dan pariwisata, untuk menstabilkan transaksi berjalan Indonesia dan menambah cadangan devisa. Ini termasuk dengan menyegerakan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) jasa 0 persen.
Policy Analyst dari Indonesia Services Dialogue, Muhammad Syarif Hidayatullah, mengatakan, jasa perjalanan dan pariwisata berpotensi menyumbang ekspor untuk meningkatkan surplus dan cadangan devisa. Syarif melihat potensi itu dari sumbangan ekspor sektor jasa tersebut yang mencapai 10,7 miliar dollar AS hingga triwulan III-2018. Angka tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 12,44 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Pada 2017, jasa perjalanan dan pariwisata juga mengalami surplus neraca perdagangan sebesar 4,23 miliar dollar AS. Pada tiga triwulan 2018, surplus di sektor tersebut mencapai 4,04 miliar dollar AS.
”Perkembangan ekspor jasa perjalanan ini sebenarnya dapat menjadi kunci untuk mengurangi defisit transaksi berjalan sektor jasa ke depannya,” ujarnya, Kamis (22/11/2018). Ia menambahkan, sektor jasa lainnya juga memiliki peluang ekspor yang sangat besar, terutama di era digital seperti saat ini.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), CEIC, dan Kementerian Koordinator Perekonomian, yang dikutip Kompas, 26 Oktober 2018, kontribusi sektor jasa di Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) terus meningkat, yakni dari 40,67 persen pada 2010 menjadi 43,63 persen pada 2017.
Sementara berdasarkan data Bank Indonesia, ekspor jasa meningkat dalam kurun tiga tahun terakhir. Seperti dari 22,22 miliar dollar AS pada 2015 menjadi 23,32 miliar dollar AS tahun 2016. Lalu kembali naik ke angka 24,8 miliar dollar AS pada 2017.
Fokus pada ekspor jasa dinilai baik untuk mengurangi defisit transaksi berjalan jasa mencapai yang mencapai 5,7 miliar dollar AS hingga triwulan-III 2018, menurut data Bank Indonesia. Indonesia Services Dialogue memperkirakan hingga akhir tahun 2018, defisit transaksi jasa akan berkisar pada Rp 7,5 miliar-Rp 8,2 miliar dollar AS.
Optimalisasi di bidang ekspor jasa juga diharapkan menstabilkan neraca perdagangan Indonesia yang masih defisit. Pada Januari-September 2018, neraca perdagangan defisit 3,781 miliar dollar AS. Tren tersebut diikuti defisit transaksi berjalan di triwulan II-2018 yang mencapai 8 miliar dollar AS.
BPS mencatat, nilai impor selama September 2018 mencapai 14,6 miliar dollar AS, turun 13,1 persen dibandingkan Agustus 2018. Sementara nilai ekspor mencapai 14,8 miliar dollar AS atau turun 6,5 persen dibandingkan Agustus 2018.
Untuk mendorong perkembangan ekspor jasa nasional, Executive Director Indonesia Services Dialogue Devi Ariyani mengatakan, terdapat dua langkah utama yang bisa dilakukan pemerintah. ”Pertama, perkuat investasi sektor jasa dengan merevisi aturan daftar negatif investasi. Kedua, hapuskan PPn untuk ekspor jasa,” ujarnya.
Penerapan PPn dengan tarif 0 persen atas jasa kena pajak (JKP) sangat krusial untuk meningkatkan daya saing sektor jasa yang berorientasi ekspor di tataran perdagangan internasional. Hal tersebut akan membantu pelaku bisnis ekspor jasa untuk dapat mengenakan harga yang kompetitif terhadap produk jasa yang diekspor.
Saat ini, PPn jasa sebesar 0 persen hanya berlaku untuk sektor jasa maklon, jasa perbaikan dan perawatan, serta jasa konstruksi. Namun, Kementerian Keuangan telah mengungkapkan rencana penerapan PPn jasa 0 persen untuk semua sektor jasa ekspor pada akhir tahun 2018. Sementara sektor jasa dalam negeri tetap dikenai PPn 10 persen.
”Pengenaan PPn 10 persen untuk selain tiga sektor tersebut akan mengurangi daya saing Indonesia. Saat ini, banyak negara yang sudah mengenakan PPn 0 persen atas ekspor jasa, terutama untuk jasa financial center, jasa konsultan, jasa akuntansi, jasa call center, dan jasa lainnya yang dapat menambah penyerapan tenaga kerja,” ujar Devi. (ERIKA KURNIA)