JAKARTA, KOMPAS — Ancaman siber masih berpotensi muncul pada Pemilihan Umum 2019. Ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang kian pesat saat ini serta adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu dalam pemilu.
Deputi Bidang Penanggulangan dan Pemulihan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Marsekal Pertama Asep Chaerudin menyampaikan, kemajuan teknologi saat ini turut dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk menjalankan kejahatan atau hal-hal negatif, salah satunya dalam pemilu kepala daerah, legislatif, dan presiden.
”Berdasarkan permasalahan pemilu, pada umumnya terdapat dua target serangan yang menjadi incaran para penyerang, yaitu data, informasi, jaringan, atau infrastruktur pemilu, dan diseminasi informasi terkait pemilu,” ujar Asep saat menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Persiapan Pemilu Serentak Tahun 2019 yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri, di Jakarta, Kamis (22/11/2018).
Asep menjelaskan, tujuan dari penyerangan terhadap infrastruktur pemilu antara lain untuk mengganggu, mengendalikan, mencuri, dan merusak integritas data tersebut. Adapun taktik yang digunakan penyerang cukup beragam, seperti peretasan (hacking), pengambilalihan perangkat (device takeover), perangkat perusak (malware), serangan DDOS, dan ancaman dari dalam (insider threat).
Sementara pada target diseminasi atau penyebaran ide dan informasi pemilu, kata Asep, penyerang berniat untuk mengubah opini publik dan memengaruhi perilaku pemilih. Taktik yang digunakan penyerang untuk target ini ialah dengan media daring melalui penyebaran informasi palsu untuk memopulerkan pandangan yang berbeda dan untuk mengendalikan konflik politik.
”Serangan yang ditujukan kepada kedua macam target tersebut dilakukan dengan berbagai motivasi, seperti memperoleh keuntungan finansial, keinginan balas dendam, dan meraih popularitas. Penyerang juga ingin membuat konflik atau kerusuhan, mengalahkan lawan politik, hingga adanya kepentingan asing dan membuat ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi,” papar Asep.
Serangan siber saat pemilu banyak terjadi di negara lain, seperti kasus di Ukraina pada 2014, Inggris dan Amerika pada 2016, serta Jerman dan Perancis pada 2017. Serangan tersebut berhasil memanipulasi hasil pemilu dan menyebabkan gangguan politik, memengaruhi keputusan pemilih, dan menjatuhkan salah satu kandidat.
Meski tidak berdampak signifikan seperti di luar negeri, Indonesia beberapa kali tercatat mengalami kasus serangan siber saat pemilu. Serangan siber pertama saat pemilu di Indonesia terjadi pada 2004 dengan menggunakan teknik cross site scripting dan SQL injection yang mengubah tampilan website KPU. BSSN mencatat, sejak 2004-2018, tren serangan dilakukan menggunakan teknik peretasan (hacking).
Strategi
Dalam mewujudkan keamanan siber pada Pemilu 2019, Asep memaparkan, BSSN memiliki sejumlah strategi. Strategi tersebut antara lain melakukan pemasangan sensor honeypot (sistem penjebak server) pada infrastruktur teknologi informasi (TI) KPU, Bawaslu, dan instansi pemerintah yang memiliki dampak strategis terhadap penyelenggaraan Pemilu 2019.
Asep menambahkan, BSSN juga akan melakukan pemonitoran ketersediaan website KPU dan Bawaslu selama 24 jam seminggu. Strategi terakhir adalah melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait, provider komunikasi, dan provider media sosial untuk pengamanan infrastruktur pemilu.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto yang turut hadir dalam rapat tersebut mengatakan, serangan siber memang menjadi salah satu potensi kerawanan dalam Pemilu 2019. Selain itu, pihaknya mencatat enam potensi kerawanan lainnya, yakni politik identitas, perilaku negatif kandidat dan pendukung, hoaks dan propaganda, politik uang, sabotase dan teror, serta perselisihan hasil pemilu.
Pada 1 Agustus lalu, Menkopolhukam juga telah memimpin rakornas terkait perkembangan situasi terakhir Pemilu 2019. Saat itu, Wiranto menyatakan bahwa permasalahan siber harus benar-benar mampu diantisipasi dengan baik oleh BSSN sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.