Hingga mendekati akhir tahun ini, kinerja ekspor Indonesia masih melempem. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, ekspor migas dan nonmigas Indonesia pada Januari-Oktober 2018 hanya tumbuh 8,84 persen dari periode sama 2017. Pertumbuhan ekspor ini kalah jauh dari impor yang tumbuh 23,37 persen. Hal ini menyebabkan neraca perdagangan Januari-Oktober 2018 defisit 5,51 miliar dollar AS.
Pada triwulan III-2018, ekspor berkonstribusi 22,14 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Lagi-lagi, kontribusi ekspor belum mampu mengimbangi impor yang negatif 22,81 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Faktor eksternal paling banyak berperan dalam penurunan kinerja ekspor.
Faktor-faktor itu antara lain perang dagang Amerika Serikat-China yang belum usai; hambatan perdagangan dari sejumlah negara, terutama India dan Uni Eropa; dan penurunan harga komoditas ekspor andalan Indonesia, terutama minyak sawit mentah (CPO) dan karet.
Tekanan itu justru terjadi di tengah-tengah persoalan klasik yang mendera Indonesia, yakni kerapuhan struktur ekspor Indonesia. Indonesia melalaikan industri manufaktur berbasis ekspor. Indonesia menikmati hasil ekspor komoditas mentah, terutama bahan tambang dan CPO. Ketika perdagangan global dan harga komoditas mentah bergejolak, kinerja ekspor kena dampaknya.
Tahun depan, tantangan meningkatkan kinerja ekspor semakin berat. Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan volume perdagangan global pada 2018 dan 2019 masing-masing 4,2 persen dan 4 persen.
Padahal, pada 2017 volume perdagangan dunia tumbuh 5,2 persen, sekaligus sebagai pertumbuhan volume perdagangan global terbaik sejak 2010.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi negara-negara tujuan ekspor utama Indonesia, seperti AS, China, Jepang, dan Uni Eropa diperkirakan melambat. IMF memperkirakan, ekonomi AS akan tumbuh 2,9 persen pada 2018 dan 2,5 persen pada 2019. Pertumbuhan ekonomi China diproyeksikan 6,6 persen pada tahun 2018 dan 6,2 persen pada 2019.
Adapun perekonomian Uni Eropa, pada 2018 dan 2019 diperkirakan tumbuh 1,9 persen. Di Jepang, pertumbuhan ekonomi diperkirakan 1,1 persen pada 2018 dan pada 2019 akan melambat menjadi 0,9 persen.
IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi masing-masing negara tujuan ekspor utama Indonesia itu karena perang dagang AS-China. AS dan China berkomitmen menuntaskan negosiasi dagang dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Buenos Aires, Argentina, akhir November ini.
Banyak negara, termasuk Indonesia, berharap perang dagang AS-China itu berakhir dalam KTT itu. Namun, berbagai kemungkinan tetap bisa terjadi. Indonesia tidak hanya dapat bertumpu pada hasil akhir perang dagang AS-China. Persoalan utama ekspor Indonesia tetap perlu dirampungkan. Persoalan itu terutama menyangkut nilai tambah produk dan hambatan-hambatan perdagangan, baik tarif maupun nontarif.
Kerja sama bilateral, regional, dan multilateral juga perlu dikembangkan. Baru-baru ini, pemerintah meratifikasi tujuh perjanjian perdagangan untuk meningkatkan ekspor 2019.
Perjanjian perdagangan internasional yang sudah diratifikasi dengan peraturan presiden itu adalah Protokol Pertama untuk mengubah Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru (AANZFTA), Perjanjian Perdagangan Jasa di bawah ASEAN-India FTA (AITISA), dan Protokol Ketiga untuk Mengubah Perjanjian Perdagangan Barang di bawah ASEAN-Korea FTA (AKFTA).
Perjanjian yang lainnya adalah Protokol untuk Mengubah Perjanjian Kerangka Kerja di bawah ASEAN-China FTA (ACFTA), Perjanjian ASEAN tentang Pedoman Perangkat Medis (AMDD), Protokol untuk Menerapkan Perjanjian Kerangka Kerja ASEAN ke-9 tentang Layanan (AFAS-9), dan Protokol untuk Mengubah PTA Indonesia-Pakistan (IP-PTA).
Kendati demikian, ratifikasi perlu memerhatikan kepentingan domestik yang tidak hanya menyangkut sektor perdagangan. Ada sektor-sektor lain yang terkait dan akan terkena dampaknya, seperti sektor sosial, hak asasi manusia, jasa, kesehatan, investasi, dan mekanisme penyelesaian sengketa yang berpotensi merugikan negara.
Bagi negara-negara lain, Indonesia dilihat sebagai pangsa pasar yang besar. Hal itulah yang membuat negara-negara lain antusias bekerja sama dengan Indonesia. Dengan demikian, jangan sampai berbagai perjanjian dan liberalisasi perdagangan justru terus menciptakan ketergantungan yang tinggi pada produk impor.
Di sisi lain, Indonesia juga harus memiliki posisi tawar yang kuat terhadap negara-negara yang menyebabkan neraca perdagangan Indonesia defisit semakin dalam. Salah satunya dengan menerapkan skema imbal dagang. Bahkan, bisa juga dengan meminta negara-negara itu meningkatkan volume impor berbagai produk dari Indonesia. (Hendriyo Widi)